JUDUl
: SINKRITISME
OLEH
: JOIS STEVEN TETERISSA
SINKRITISME
Sinkretisme
adalah salah satu paham yang gerakannya berupaya mempersatukan agama-agama
yang ada di dunia. Ensiklopedia Britannica menyebutkan
bahwa “Religious syncretism is the fusion of diverse religious beliefs
and practices” (paham sinkretisme adalah penyatuan beberapa agama yang
berbeda). Gerakan ini memberikan suatu pemahaman bahwa pada dasarnya semua
agama adalah sama. Semua agama mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan,
berupaya mengajak umat seluruh dunia bersatu dalam setiap langkah, mengusahakan
pendekatan satu sama lain, dan lebih menjunjung tinggi ikatan kemanusiaan
daripada kebersamaan umat seagama.
Aliran
ini bergerak hampir semua sektor kehidupan, baik ekonomi, politik, agama maupun
kebudayaan. Tujuan utamanya adalah menjadikan dunia sebagai suatu wadah besar
dengan keyakinan yang sama yaitu “kemanusiaan”. Strategi pendekatan yang
digunakan aliran ini, baik secara langsung ataupun tidak langsung, bahkan
disadari maupun tidak disadari adalah dengan menanamkan sebuah keragu-raguan
kepada setiap penganut agama terhadap agama-agama yang mereka anut. Mereka
mengajak penganut agama untuk mengosongkan pikirannya sebelum menerima paham
baru yang dihasilkan dari penyatuan ajaran agama-agama sesuai dengan pemahaman
mereka. Gerakan yang berlandaskan sinkretisme sebenarnya sudah sejak lama
berkembang, ruang lingkupnya terkadang hanya terbatas pada pemersatuan
agama-agama samawiyah, namun ada juga yang secara menyeluruh, termasuk upaya
mempersatukan sekte-sekte yang berkembang dalam setiap agama.
INJIL DAN SINKRITISME
Sinkretisme adalah suatu istilah yang
menunjukkan faham yang sangat mencolok mewarnai kebudayaan dunia lebih-lebih
menjelang berakhirnya abad ke 20 ini, soalnya dalam segala bidang sinkretisme
sudah menanamkan pengaruhnya.
Sinkretisme disebut dalam kamus
sebagai "penyatuan aliran" sedangkan
istilah ini dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut
"Mencampuradukkan agama-agama ini disebut sinkretisme". Josh McDowell
dalam bukunya menyebut bahwa "Syncretistic" berarti "tending to
reconcile different beliefs, as philosophy and religion".Dari beberapa
kutipan tersebut dapatlah dimengerti bahwa Sinkretisme dalam agama adalah usaha
penyatuan dan pencampuradukkan berbagai-bagai faham agama dengan kecenderungan
untuk mendamaikan paham-paham itu.
Kata sinkretisme
yang telah menjadi kata kita sehari-hari ini adalah kata asing, yang bisa
dilacak dari kata Yunani."Sunistanto, Sunkretamos" artinya
"kesatuan"; dan kata "synkerannumi" yang berarti
"mencampur aduk". Istilah tersebut mula-mula adalah istilah Politik,
yang digunakan oleh Plutarch untuk menggambarkan kesatuan orang-orang dari
pulau Kreta yang melawan musuh bersamanya. Kesatuan tersebut adalah sebagai
sinkretismos. Kemudian Istilah ini juga dipakai di dalam bidang filsafat dan
agama guna menggambarkan suatu keharmonisan dan perdamaian.
Misalnya di dalam bidang filsafat,
pada abad 15 Kardinal Bessarion menggunakan istilah tersebut dalam ungkapannya
untuk mendamaikan dan mengharmoniskan filsafat Plato dan Aristoteles. Di dalam
bidang keagamaan, pada abad 17 Calextus seorang pengikut Luther disebut sebagai
seorang sinkretist, sebab dia berusaha mendamaikan dan menyatukan
teologia-teologia Protestan yang ada. Dengan demikian, di sini terkandung arti
pula unsur-unsur mencampur-adukkan antara satu dengan lainnya sehingga semuanya
menjadi satu.
Gunkel, Harnadc dan
Bultmann menggunakan istilah sinkretisme secara luas untuk menggambarkan
Kekristenan sebagai suatu agama Synkretistic, karena mengasimilasi konsep
Judaistis, Hellenistis dan Gnostik. Sedangkan Russell Chandran berargumentasi
bahwa segala formulasi dari theologia Kristen adalah dipaksa dan diharuskan bersifat
sinkretistic.
Pandangan beberapa theolog tersebut di
atas bisa mengaburkan pengertian tentang sinkretisme yang sesungguhnya. Jikalau
yang dimaksud sinkretisme adalah sebagaimana yang dinyatakan seperti tersebut
di atas, maka semua agama, tidak terkecuali agama Kristen adalah bersifat
sinkretistis. Sebab manakala suatu agama,
tidak terkecuali agama Kristen berusaha keluar dari lingkungannya untuk
mencapai lingkungan di luarnya, maka mau tidak mau mesti bersifat sinkretistik.
Hal ini jelas, sebab lingkungan yang dihadapi dan di mana agama Kristen
tersebut ada adalah bukan lingkungan yang steril dan vakum. Di dalam pertemuan
tersebut tidak mungkin untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang hidup dalam
lingkungan berbeda tersebut tanpa menggunakan pengungkapan (ekspresi) dan
konsep-konsep yang dalam beberapa hal dihubungkan dengan apa yang menyatu
dengan dunia adat istiadat dan agama di mana orang-orang tersebut hidup. Namun
pertanyaannya, apakah fase-fase seperti penerjemahan (translation), peralihan
(transition), pengubahan (transformation) dan penyerapan (absorption) semacam
itu boleh disebut sinkretisme dalam arti yang sesungguhnya?
PANDANGAN
ALKITAB MENGENAI SINKRITISME
Di dalam
Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat kita lihat betapa Alkitab
selalu menolak sinkretisme dalam arti yang sesungguhnya itu. Oleh karena itu di
sepanjang sejarah umat Allah di dalam Alkitab tersebut, penuh dengan pergumulan
melawan sinkretisme. Penolakan Alkitab terhadap sinkretisme itu jelas dari
protes nabi-nabi Allah terhadap praktek ibadah kepada Baal, upacara/ibadat
Babylonia, Assyria dan serangan penulis-penulis Perjanjian Baru terhadap ibadah
Hellenistik dan ibadah Gnostik di Antiokhia, Efesus, Korintus, Kolose, Roma,
dstnya.
Pergumulan terhadap
sinkretisme tersebut, pertama-tama nampak di dalam pertemuan orang-orang Israel
dengan orang-orang atau bangsa-bangsa di tanah Kanaan yang menyembah Baal,
misalnya orang Sikhem menyembah Baal Berit (Hak. 8:33; 9:46), orang Moab menyembah Baal
Peor (Bil. 25:3; Ul. 4:3; Hos. 9:10), orang Filistin menyembah Baal
Zebub (II Raja 1:2), dllnya.
Di dalam pertemuan mereka dengan
suku-suku penyembah Baal tersebut banyak dari antara orang Israel yang
terpengaruh dan ikut menyembah dewa mereka Baal, disamping penyembahan mereka
kepada Allah. Bagi mereka Allah saja dirasa belum cukup memenuhi keselamatan
mereka, sehingga perlu ditambah lagi dengan penyembahan kepada Baal. Baalisme di
Israel ini mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan raja Omri, Ahab dan
anak-anak Ahab dari Israel Utara yang meresmikan agama Baal sebagai agama
nasional.
Dalam situasi demikian tampillah
nabi-nabi Allah yang menentang praktek ibadat Baal tersebut, misalnya seperti
nabi Elia, Elisa dan Hosea. Penyembahan mereka kepada Allah disamping kepada
Baal dan berhala-berhala lainnya itu secara mengharukan digambarkan dalam kitab.
Kedua, gelombang sinkretisme yang lebih tinggi dan rumit lagi sifatnya melanda Israel
kira-kira seabad sebelum pembuangan yaitu yang mengambil bentuk dalam cara-cara
ibadat, adat istiadat dan budaya Babil dan Assur.
Saat itu ibadah asing diperkenalkan di
Bait Suci Yerusalem, berarti walaupun Allah disembah, tetapi Dia bukan lagi
satu-satunya Tuhan yang menentukan nasib dan masa depan keselamatan Israel. Dia
kini menjadi bagian dari Pantheon/kuil dan salah satu dari illah yang banyak
jumlahnya itu. Misalnya ibadah kepada Matahari atau Shamas, orang-orang Babil
dengan kereta matahari (II Raja 23:11), gambar Asherah yang
diidentifikasikan dengan Astarte (II Raja 21:3) Ratu Surga, ibu Tuhan Sang
pemberi hidup alam (Yer. 7:18; 44:17), dstnya.
`Sinkretisme
tersebut ditentang dengan keras oleh nabi-nabi, seperti nabi Yeremia (Yer. 2:18; 2:21; 2:23; 2:25-27). Sebagai
hasil dari tegoran Yeremia itu Raja Yosia mengadakan suatu reformasi secara
menyeluruh dengan memusatkan kebaktian di Bait Suci Yerusalem pada tahun 622
yang terkenal dengan reformasi Deuteronomist. di dalam Perjanjian Baru, ketika
Injil keluar dari Israel, dari lingkungan Yahudi dan mulai menjangkau Yunani,
lingkungan Hellenistis dan Gnostik di situ bertemu pula Injil dengan penyembahan
dewa-dewa asing seperti penyembahan Isis dan Sarapis dari Mesir, Cybele dan
Attis dari Syria, Mithra dari Persia dan aliran-aliran filsafat seperti Stoiki,
Epicuri dan Gnostik.
Menghadapi
Sinkretisme yang lebih tinggi dan ruwet ini, sikap para rasul di dalam
Perjanjian Baru tidak hanya begitu saja langsung menolak dan menyerang seperti
dalam Perjanjian Lama, melainkan juga berkembang lebih hati-hati, bijaksana dan
kreatif. Bagi mereka perhatian yang utama adalah bagaimana membawa dan
mengkomunikasikan Injil kepada orang-orang Yunani itu. Oleh karena itu sikap
mereka ini juga tak terpisahkan dengan metode mereka tentang Pekabaran Injil.
HAL-HAL YANG
DIALAMI OLEH PARA RASUL
1. Di Samaria, Simon Magus seorang
tukang sihir yang dibaptiskan oleh Filipus berpikir bahwa kuasa Roh Kudus yang
ada pada para rasul itu tidak beda dengan kekuatan yang dimilikinya. Oleh
karena itu ia meminta kuasa semacam itu dari Rasul Petrus dan Yohanes. Tetapi
dijawab Petrus bahwa Pikiran yang ada dalam benak Simon itu harus dibuang
jauh-jauh. Roh Kudus adalah karunia Tuhan, karunia yang diberikan kepada mereka
yang bertobat dan harus digunakan dalam kehendak dan pelayanan kepada Tuhan. (Kisah Rasul 8:12.)
2. Di dalam kunjungan Rasul Paulus ke
Efesus, orang-orang Efesus yang percaya kepada Dewi Artemis digerakkan oleh
Demetrius, menolak kedatangan Rasul Paulus. Karena Rasul Paulus mengajarkan
bahwa apa yang dibuat oleh tangan manusia bukanlah dewa dan tidak mempunyai
kekuasaan apa-apa. Pengajarannya ini bisa merugikan usaha Demetrius sebagai
tukang membuat kuil-kuilan Dewi Artemis dari Perak. (Kisah Rasul 19:26.)
3. Di Athena, ketika menghadapi
orang-orang yang menyembah berhala di mana di salah satu mezbahnya bertuliskan:
"Kepada Allah Yang tidak dikenal" Paulus justru menggunakannya
sebagai titik tolak untuk pekabaran Injilnya. Paulus mengerti, dan bisa
menghargai Hellenisme serta memahami pikiran dan kebudayaan mereka. Di sini
Paulus tidak mau dituduh membawa dewa-dewa asing kepada orang-orang Athena,
melainkan mengabarkan, Injil ke dalam pikiran serta hati mereka dengan bertitik
tolak dari apa yang ada pada mereka dan menggunakan cara-cara pengungkapan yang
mereka pahami. Paulus mengatakan bahwa Allah yang tidak mereka kenal itulah
yang saat ini diberikan kepada mereka. Ia menghormati kepercayaan orang-orang
Athena oleh karena itu ia tidak mulai dengan kecaman dan konflik, melainkan
menggunakannya untuk menerangkan pesan yang ingin disampaikan.
4. Di dalam suratnya kepada Jemaat
Kolose yang digerogoti oleh pencampuradukan Iman Kristen dengan tahyul,
"gugontuwon" kepercayaan dan ajaran sesat, sehingga bagi banyak orang
Kolose dirasakan Kristus saja belum cukup untuk menyelamatkan mereka; Rasul
Paulus mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah kepenuhan KeAllahan dan kita telah
dipenuhi di dalam Dia. Oleh karena itu tetaplah hidup di dalam Dia, berakar dan
dibangun di dalam Dia (Kolose 2:6-7). Dengan ungkapan "hidup
di dalam Dia, berakar dan dibangun di dalam Dia" tampaknya Rasul Paulus
memaksudkan bahwa: Gereja Tuhan itu seperti benih tanaman yang disebar untuk
tumbuh dan berbuah di tempatnya masing-masing di mana Kristus juga sudah ada di
sana.
KESIMPULAN
Dari
uraian sebelumnya dijelaskan bahwa sinkretisme adalah suatu gejala umum
(universal). Sebab manakala suatu agama, termasuk agama Kristen, keluar dari
lingkungannya sendiri dan menjangkau lingkungan-lingkungan di luarnya, mau
tidak mau mesti bersifat sinkretistis. Di mana di dalam pertemuan tersebut
tidak akan mungkin dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang hidup di dalam
lingkungan berbeda tersebut tanpa menggunakan pengungkapan (ekspresi), bahasa
dan konsep-konsep yang dalam beberapa hal dihubungkan dengan apa yang menyatu
dengan dunia adat istiadat dan agama di mana orang-orang tersebut hidup.
Oleh
karena itu sinkretisme yang sesungguhnya adalah bukan yang
"phenomenological" itu, melainkan yang menyangkut "theological
problem". Yaitu masalah adakah Kristus tetap diakui sebagai satu-satunya
jalan dan itu telah cukup? ataukah masih perlu ditambah ini dan itu. Jikalau
jawabannya negatif, memang di situlah gereja harus awas karena adanya gelombang
sinkretisme yang serius.
Di
dalam situasi yang di dalam proses yang terus menerus tersebut, dalam
menanggapi masalah "phenomenological Synkretisme" itu, gereja
haruslah bersikap bijaksana. Lebih-lebih jikalau dihubungkan dengan metode dan
strategi penginjilannya. Gereja hendaknya tidak selalu gampang bersikap negatif
"asal larang terhadap segala unsur adat dan budaya setempat",
sebaliknya juga tidak serampangan "asal terima" begitu saja, melainkan
lebih dituntut untuk bersikap peka, positif, selektif dan kreatif. Secara
positif selektif dan kreatif gereja bisa memulai, menggunakan dan memanfaatkan
dari apa yang ada atau juga bisa mengikis, kalau mungkin melenyapkan apa yang
ada yang dipandang membahayakan atau mengingkari iman Kristen, khususnya yang
berhubungan dengan "Theological Problem" tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar