Minggu, 07 Desember 2014

Apologetika Sinkritisme

JUDUl : SINKRITISME
OLEH : JOIS STEVEN TETERISSA

SINKRITISME
Sinkretisme adalah salah satu paham yang gerakannya berupaya mempersatukan agama-agama yang  ada di dunia. Ensiklopedia Britannica menyebutkan bahwa “Religious syncretism is the fusion of diverse religious beliefs and practices” (paham sinkretisme adalah penyatuan beberapa agama yang berbeda). Gerakan ini memberikan suatu pemahaman bahwa pada dasarnya semua agama adalah sama. Semua agama mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan, berupaya mengajak umat seluruh dunia bersatu dalam setiap langkah, mengusahakan pendekatan satu sama lain, dan lebih menjunjung tinggi ikatan kemanusiaan daripada kebersamaan umat seagama.
Aliran ini bergerak hampir semua sektor kehidupan, baik ekonomi, politik, agama maupun kebudayaan. Tujuan utamanya adalah menjadikan dunia sebagai suatu wadah besar dengan keyakinan yang sama yaitu “kemanusiaan”. Strategi pendekatan yang digunakan aliran ini, baik secara langsung ataupun tidak langsung, bahkan disadari maupun tidak disadari adalah dengan menanamkan sebuah keragu-raguan kepada setiap penganut agama terhadap agama-agama yang mereka anut. Mereka mengajak penganut agama untuk mengosongkan pikirannya sebelum menerima paham baru yang dihasilkan dari penyatuan ajaran agama-agama sesuai dengan pemahaman mereka. Gerakan yang berlandaskan sinkretisme sebenarnya sudah sejak lama berkembang, ruang lingkupnya terkadang hanya terbatas pada pemersatuan agama-agama samawiyah, namun ada juga yang secara menyeluruh, termasuk upaya mempersatukan sekte-sekte yang berkembang dalam setiap agama.

INJIL DAN SINKRITISME
Sinkretisme adalah suatu istilah yang menunjukkan faham yang sangat mencolok mewarnai kebudayaan dunia lebih-lebih menjelang berakhirnya abad ke 20 ini, soalnya dalam segala bidang sinkretisme sudah menanamkan pengaruhnya.
Sinkretisme disebut dalam kamus sebagai "penyatuan aliran" sedangkan istilah ini dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut "Mencampuradukkan agama-agama ini disebut sinkretisme". Josh McDowell dalam bukunya menyebut bahwa "Syncretistic" berarti "tending to reconcile different beliefs, as philosophy and religion".Dari beberapa kutipan tersebut dapatlah dimengerti bahwa Sinkretisme dalam agama adalah usaha penyatuan dan pencampuradukkan berbagai-bagai faham agama dengan kecenderungan untuk mendamaikan paham-paham itu.
Kata sinkretisme yang telah menjadi kata kita sehari-hari ini adalah kata asing, yang bisa dilacak dari kata Yunani."Sunistanto, Sunkretamos" artinya "kesatuan"; dan kata "synkerannumi" yang berarti "mencampur aduk". Istilah tersebut mula-mula adalah istilah Politik, yang digunakan oleh Plutarch untuk menggambarkan kesatuan orang-orang dari pulau Kreta yang melawan musuh bersamanya. Kesatuan tersebut adalah sebagai sinkretismos. Kemudian Istilah ini juga dipakai di dalam bidang filsafat dan agama guna menggambarkan suatu keharmonisan dan perdamaian.
Misalnya di dalam bidang filsafat, pada abad 15 Kardinal Bessarion menggunakan istilah tersebut dalam ungkapannya untuk mendamaikan dan mengharmoniskan filsafat Plato dan Aristoteles. Di dalam bidang keagamaan, pada abad 17 Calextus seorang pengikut Luther disebut sebagai seorang sinkretist, sebab dia berusaha mendamaikan dan menyatukan teologia-teologia Protestan yang ada. Dengan demikian, di sini terkandung arti pula unsur-unsur mencampur-adukkan antara satu dengan lainnya sehingga semuanya menjadi satu.
Gunkel, Harnadc dan Bultmann menggunakan istilah sinkretisme secara luas untuk menggambarkan Kekristenan sebagai suatu agama Synkretistic, karena mengasimilasi konsep Judaistis, Hellenistis dan Gnostik. Sedangkan Russell Chandran berargumentasi bahwa segala formulasi dari theologia Kristen adalah dipaksa dan diharuskan bersifat sinkretistic.
Pandangan beberapa theolog tersebut di atas bisa mengaburkan pengertian tentang sinkretisme yang sesungguhnya. Jikalau yang dimaksud sinkretisme adalah sebagaimana yang dinyatakan seperti tersebut di atas, maka semua agama, tidak terkecuali agama Kristen adalah bersifat sinkretistis.  Sebab manakala suatu agama, tidak terkecuali agama Kristen berusaha keluar dari lingkungannya untuk mencapai lingkungan di luarnya, maka mau tidak mau mesti bersifat sinkretistik. Hal ini jelas, sebab lingkungan yang dihadapi dan di mana agama Kristen tersebut ada adalah bukan lingkungan yang steril dan vakum. Di dalam pertemuan tersebut tidak mungkin untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang hidup dalam lingkungan berbeda tersebut tanpa menggunakan pengungkapan (ekspresi) dan konsep-konsep yang dalam beberapa hal dihubungkan dengan apa yang menyatu dengan dunia adat istiadat dan agama di mana orang-orang tersebut hidup. Namun pertanyaannya, apakah fase-fase seperti penerjemahan (translation), peralihan (transition), pengubahan (transformation) dan penyerapan (absorption) semacam itu boleh disebut sinkretisme dalam arti yang sesungguhnya?

PANDANGAN ALKITAB MENGENAI SINKRITISME
Di dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat kita lihat betapa Alkitab selalu menolak sinkretisme dalam arti yang sesungguhnya itu. Oleh karena itu di sepanjang sejarah umat Allah di dalam Alkitab tersebut, penuh dengan pergumulan melawan sinkretisme. Penolakan Alkitab terhadap sinkretisme itu jelas dari protes nabi-nabi Allah terhadap praktek ibadah kepada Baal, upacara/ibadat Babylonia, Assyria dan serangan penulis-penulis Perjanjian Baru terhadap ibadah Hellenistik dan ibadah Gnostik di Antiokhia, Efesus, Korintus, Kolose, Roma, dstnya.
Pergumulan terhadap sinkretisme tersebut, pertama-tama nampak di dalam pertemuan orang-orang Israel dengan orang-orang atau bangsa-bangsa di tanah Kanaan yang menyembah Baal, misalnya orang Sikhem menyembah Baal Berit (Hak. 8:33; 9:46), orang Moab menyembah Baal Peor (Bil. 25:3; Ul. 4:3; Hos. 9:10), orang Filistin menyembah Baal Zebub (II Raja 1:2), dllnya.
Di dalam pertemuan mereka dengan suku-suku penyembah Baal tersebut banyak dari antara orang Israel yang terpengaruh dan ikut menyembah dewa mereka Baal, disamping penyembahan mereka kepada Allah. Bagi mereka Allah saja dirasa belum cukup memenuhi keselamatan mereka, sehingga perlu ditambah lagi dengan penyembahan kepada Baal. Baalisme di Israel ini mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan raja Omri, Ahab dan anak-anak Ahab dari Israel Utara yang meresmikan agama Baal sebagai agama nasional.
Dalam situasi demikian tampillah nabi-nabi Allah yang menentang praktek ibadat Baal tersebut, misalnya seperti nabi Elia, Elisa dan Hosea. Penyembahan mereka kepada Allah disamping kepada Baal dan berhala-berhala lainnya itu secara mengharukan digambarkan dalam kitab. Kedua, gelombang sinkretisme yang lebih tinggi dan rumit lagi sifatnya melanda Israel kira-kira seabad sebelum pembuangan yaitu yang mengambil bentuk dalam cara-cara ibadat, adat istiadat dan budaya Babil dan Assur.
Saat itu ibadah asing diperkenalkan di Bait Suci Yerusalem, berarti walaupun Allah disembah, tetapi Dia bukan lagi satu-satunya Tuhan yang menentukan nasib dan masa depan keselamatan Israel. Dia kini menjadi bagian dari Pantheon/kuil dan salah satu dari illah yang banyak jumlahnya itu. Misalnya ibadah kepada Matahari atau Shamas, orang-orang Babil dengan kereta matahari (II Raja 23:11), gambar Asherah yang diidentifikasikan dengan Astarte (II Raja 21:3) Ratu Surga, ibu Tuhan Sang pemberi hidup alam (Yer. 7:18; 44:17), dstnya.
`Sinkretisme tersebut ditentang dengan keras oleh nabi-nabi, seperti nabi Yeremia (Yer. 2:18; 2:21; 2:23; 2:25-27). Sebagai hasil dari tegoran Yeremia itu Raja Yosia mengadakan suatu reformasi secara menyeluruh dengan memusatkan kebaktian di Bait Suci Yerusalem pada tahun 622 yang terkenal dengan reformasi Deuteronomist. di dalam Perjanjian Baru, ketika Injil keluar dari Israel, dari lingkungan Yahudi dan mulai menjangkau Yunani, lingkungan Hellenistis dan Gnostik di situ bertemu pula Injil dengan penyembahan dewa-dewa asing seperti penyembahan Isis dan Sarapis dari Mesir, Cybele dan Attis dari Syria, Mithra dari Persia dan aliran-aliran filsafat seperti Stoiki, Epicuri dan Gnostik.
Menghadapi Sinkretisme yang lebih tinggi dan ruwet ini, sikap para rasul di dalam Perjanjian Baru tidak hanya begitu saja langsung menolak dan menyerang seperti dalam Perjanjian Lama, melainkan juga berkembang lebih hati-hati, bijaksana dan kreatif. Bagi mereka perhatian yang utama adalah bagaimana membawa dan mengkomunikasikan Injil kepada orang-orang Yunani itu. Oleh karena itu sikap mereka ini juga tak terpisahkan dengan metode mereka tentang Pekabaran Injil.
HAL-HAL YANG DIALAMI OLEH PARA RASUL
1. Di Samaria, Simon Magus seorang tukang sihir yang dibaptiskan oleh Filipus berpikir bahwa kuasa Roh Kudus yang ada pada para rasul itu tidak beda dengan kekuatan yang dimilikinya. Oleh karena itu ia meminta kuasa semacam itu dari Rasul Petrus dan Yohanes. Tetapi dijawab Petrus bahwa Pikiran yang ada dalam benak Simon itu harus dibuang jauh-jauh. Roh Kudus adalah karunia Tuhan, karunia yang diberikan kepada mereka yang bertobat dan harus digunakan dalam kehendak dan pelayanan kepada Tuhan. (Kisah Rasul 8:12.)
2. Di dalam kunjungan Rasul Paulus ke Efesus, orang-orang Efesus yang percaya kepada Dewi Artemis digerakkan oleh Demetrius, menolak kedatangan Rasul Paulus. Karena Rasul Paulus mengajarkan bahwa apa yang dibuat oleh tangan manusia bukanlah dewa dan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Pengajarannya ini bisa merugikan usaha Demetrius sebagai tukang membuat kuil-kuilan Dewi Artemis dari Perak. (Kisah Rasul 19:26.)
3. Di Athena, ketika menghadapi orang-orang yang menyembah berhala di mana di salah satu mezbahnya bertuliskan: "Kepada Allah Yang tidak dikenal" Paulus justru menggunakannya sebagai titik tolak untuk pekabaran Injilnya. Paulus mengerti, dan bisa menghargai Hellenisme serta memahami pikiran dan kebudayaan mereka. Di sini Paulus tidak mau dituduh membawa dewa-dewa asing kepada orang-orang Athena, melainkan mengabarkan, Injil ke dalam pikiran serta hati mereka dengan bertitik tolak dari apa yang ada pada mereka dan menggunakan cara-cara pengungkapan yang mereka pahami. Paulus mengatakan bahwa Allah yang tidak mereka kenal itulah yang saat ini diberikan kepada mereka. Ia menghormati kepercayaan orang-orang Athena oleh karena itu ia tidak mulai dengan kecaman dan konflik, melainkan menggunakannya untuk menerangkan pesan yang ingin disampaikan.
4. Di dalam suratnya kepada Jemaat Kolose yang digerogoti oleh pencampuradukan Iman Kristen dengan tahyul, "gugontuwon" kepercayaan dan ajaran sesat, sehingga bagi banyak orang Kolose dirasakan Kristus saja belum cukup untuk menyelamatkan mereka; Rasul Paulus mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah kepenuhan KeAllahan dan kita telah dipenuhi di dalam Dia. Oleh karena itu tetaplah hidup di dalam Dia, berakar dan dibangun di dalam Dia (Kolose 2:6-7). Dengan ungkapan "hidup di dalam Dia, berakar dan dibangun di dalam Dia" tampaknya Rasul Paulus memaksudkan bahwa: Gereja Tuhan itu seperti benih tanaman yang disebar untuk tumbuh dan berbuah di tempatnya masing-masing di mana Kristus juga sudah ada di sana.

KESIMPULAN
Dari uraian sebelumnya dijelaskan bahwa sinkretisme adalah suatu gejala umum (universal). Sebab manakala suatu agama, termasuk agama Kristen, keluar dari lingkungannya sendiri dan menjangkau lingkungan-lingkungan di luarnya, mau tidak mau mesti bersifat sinkretistis. Di mana di dalam pertemuan tersebut tidak akan mungkin dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang hidup di dalam lingkungan berbeda tersebut tanpa menggunakan pengungkapan (ekspresi), bahasa dan konsep-konsep yang dalam beberapa hal dihubungkan dengan apa yang menyatu dengan dunia adat istiadat dan agama di mana orang-orang tersebut hidup.
Oleh karena itu sinkretisme yang sesungguhnya adalah bukan yang "phenomenological" itu, melainkan yang menyangkut "theological problem". Yaitu masalah adakah Kristus tetap diakui sebagai satu-satunya jalan dan itu telah cukup? ataukah masih perlu ditambah ini dan itu. Jikalau jawabannya negatif, memang di situlah gereja harus awas karena adanya gelombang sinkretisme yang serius.
Di dalam situasi yang di dalam proses yang terus menerus tersebut, dalam menanggapi masalah "phenomenological Synkretisme" itu, gereja haruslah bersikap bijaksana. Lebih-lebih jikalau dihubungkan dengan metode dan strategi penginjilannya. Gereja hendaknya tidak selalu gampang bersikap negatif "asal larang terhadap segala unsur adat dan budaya setempat", sebaliknya juga tidak serampangan "asal terima" begitu saja, melainkan lebih dituntut untuk bersikap peka, positif, selektif dan kreatif. Secara positif selektif dan kreatif gereja bisa memulai, menggunakan dan memanfaatkan dari apa yang ada atau juga bisa mengikis, kalau mungkin melenyapkan apa yang ada yang dipandang membahayakan atau mengingkari iman Kristen, khususnya yang berhubungan dengan "Theological Problem" tersebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar