Senin, 08 Agustus 2016

HAL BERPUASA

BAB I
PENDAHULUAN
Alkitab tidak memerintahkan orang-orang Kristen untuk berpuasa. Puasa bukanlah sesuatu yang dituntut atau diminta Allah dari orang-orang Kristen. Pada saat yang sama, Alkitab memperkenalkan puasa sebagai sesuatu yang baik, berguna dan perlu dilakukan. Tujuan dari puasa adalah melepaskan mata kita dari hal-hal duniawi dan berpusat pada Tuhan. Puasa adalah cara untuk mendemonstrasikan kepada Tuhan, dan kepada diri sendiri, bahwa ada  keseriusan dalam hubungan dengan Tuhan. Puasa menolong orang percaya untuk memperoleh hubungan yang lebih intim dengan Tuhan.
Berhubungan dengan itu maka orang sangat cenderung berpuasa secara demonstratif. Orang amat suka menonjolkan bahwa ia berpuasa. Dalam kitab Injil-injil setidaknya ada satu perikop yang di tulis oleh tiga orang yang berbeda secara karakter, gaya penulisan dan berbeda waktu pada saat itu. Dalam kitab Matius 6:16-18 LAI memberikan topic tentang Hal berpuasa, Kitab Markus 2:18-22 memberikan topic yang sama yaitu Hal berpuasa, Kitab Lukas 5:33-39 juga berbicara mengenai Hal Berpuasa, tetapi dalam kitab Yohanes tidak membicarakan tentang hal Berpuasa, kenapa? Saya akan kupas lebih dalam mengenai perikop ini dan tanggapan-tanggapan berkaitan dengan topic yang sama pada ketiga kitab ini pada BAB II.



Latar Belakang Injil Matius
Injil ini dengan tepat sekali ditempatkan pertama sebagai pengantar PB dan "Mesias, Anak Allah yang hidup" (Mat 16:16). Walaupun nama pengarang tidak disebutkan dalam nas Alkitab, kesaksian semua bapa gereja yang mula-mula (sejak kira-kira tahun 130 M) menyatakan bahwa Injil ini ditulis oleh Matius, salah seorang murid Yesus.  Jikalau Injil Markus ditulis untuk orang Romawi dan Injil Lukas untuk Teofilus dan semua orang percaya bukan Yahudi, maka Injil Matius ditulis untuk orang percaya bangsa Yahudi.
Latar Belakang Yahudi dari Injil ini tampak dalam banyak hal, termasuk  Pertama: ketergantungannya pada penyataan, janji, dan nubuat PL untuk membuktikan bahwa Yesus memang Mesias yang sudah lama dinantikan; 
Kedua:  hal merunut garis silsilah Yesus, bertolak dari Abraham (Mat 1:1-17); 
Ketiga:  pernyataannya yang berulang-ulang bahwa Yesus adalah "Anak Daud" (Mat 1:1; Mat 9:27; Mat 12:23; Mat 15:22; Mat 20:30-31; Mat 21:9,15; Mat 22:41-45); 
Keempat  penggunaan istilah yang khas Yahudi seperti "Kerajaan Sorga" (yang searti dengan "Kerajaan Allah") sebagai ungkapan rasa hormat orang Yahudi sehingga segan menyebut nama Allah secara langsung dan  Kelima:  petunjuknya kepada berbagai kebiasaan Yahudi tanpa memberikan penjelasan apa pun (berbeda dengan kitab-kitab Injil yang lain). 
Sekalipun demikian, Injil ini tidak semata-mata untuk orang Yahudi. Seperti amanat Yesus sendiri, Injil Matius pada hakikatnya ditujukan kepada seluruh gereja, serta dengan saksama menyatakan lingkup universal Injil (mis. Mat 2:1-12; Mat 8:11-12; Mat 13:38; Mat 21:43; Mat 28:18-20).  Tanggal dan tempat Injil ini berasal tidak dapat dipastikan. Akan tetapi, ada alasan kuat untuk beranggapan bahwa Matius menulis sebelum tahun 70 M ketika berada di Palestina atau Antiokia di Siria. Beberapa sarjana Alkitab percaya bahwa Injil ini merupakan Injil yang pertama ditulis, sedangkan ahli yang lain beranggapan bahwa Injil yang ditulis pertama adalah Injil Markus. 
Matius memperkenalkan Yesus sebagai penggenapan pengharapan Israel yang dinubuatkan. Yesus menggenapi nubuat PL dalam kelahiran-Nya (Mat 1:22-23), tempat lahir (Mat 2:5-6), peristiwa kembali dari Mesir (Mat 2:15) dan tinggal di Nazaret (Mat 2:23); Ia juga diperkenalkan sebagai Oknum yang didahului oleh perintis jalan Sang Mesias (Mat 3:1-3); dalam hubungan dengan lokasi utama dari pelayanan-Nya di depan umum (Mat 4:14-16), pelayanan penyembuhan-Nya (Mat 8:17), peranan-Nya selaku hamba Allah (Mat 12:17-21), ajaran-Nya dalam bentuk perumpamaan (Mat 13:34-35), peristiwa memasuki Yerusalem dengan jaya (Mat 21:4-5) dan penangkapan-Nya (Mat 26:56).[1]
Di kalangan jemaat pertama, ada kebulatan pendapat bahwa Injil ini ditulis oleh rasul Matius dalam bahasa Ibrani (atau Aram) dan bahwa  Injil ini ditulis lebih dulu dari Injil-injil lainnya. Pandangan ini sekarang banyak ditentang oleh ahli-ahli. Alasan menentang pendapat ini ialah, pertama apakah seorang rasul yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kejadian-kejadian yang dicatat, toh akan mengambil bahan dari Injil Markus, yang penulisnya bukan rasul? Kelihatan ini kurang masuk akal. Tapi dijawab bahwa tulisan Markus dianggap berwibawa bahkan oleh rasul-rasul lain karena mencatat ajaran Petrus. Mungkin Matius telah memakai Injil Markus dengan mengubah dan memperbaikinya di sana-sini untuk menyesuaikannya dengan apa yang dialaminya sendiri. 
Alasan selanjutnya menentang pendapat Matius-lah penulisnya ialah, bahwa beberapa dari cerita, biasanya cerita tentang mujizat-mujizat, 
dalam bahan-bahan yang khas Matius, dan beberapa ajaran, terutama ajaran yang menekankan eskatologi futuris, tidak mungkin berasal dari seorang rasul.
  Ini adalah suatu masalah, tapi untuk menerima pendapat itu begitu saja berarti telah memberi jawaban yang terlalu pasti pada persoalan, sampai berapa jauhkah Injil Markus merupakan patokan dan apakah Injil-injil yang lain masing-masing dengan tekanan khususnya, tidak memberikan gambaran yang lebih lengkap daripada Injil Markus tentang perkataan dan perbuatan Yesus. 
Papias (40-130 Masehi) mengatakan, "Matius menulis Logia dalam bahasa Ibrani dan setiap orang menafsirkannya menurut kesanggupannya." Jadi Papias menganggap bahwa Injil Matius ditulis dalam bahasa Aram, suatu pendapat yang pada umumnya tidak dianut orang lagi, oleh karena Matius menggunakan Injil Markus dan Septuaginta (LXX). Orang-orang yang sependapat dengan Papias harus juga menganggap bahwa Injil Matius didasarkan pada suatu revisi menyeluruh dari naskah asli dalam bahasa Aram itu yang sering menunjuk kepada Injil Markus, dan hal ini sangat tidak mungkin. [2]
Jadi Papias harus dianggap salah tentang bahasa, tapi benar tentang penulis Injil Matius; atau menunjuk kepada sesuatu yang lain. Jika Papias tidak menunjuk kepada Injil Matius, apakah yang dimaksudkannya dengan 'Logia'?  Ada dua pendapat yang telah mendapat sokongan di kalangan ahli. Kemungkinan pertama ialah, Logia itu suatu kumpulan "kesaksian" atau  kutipan dari Perjanjian Lama, tapi hampir tidak ada bukti bahwa pernah ada kumpulan semacam itu dalam bentuk buku. Kedua, barangkali 'Logia' itu menunjuk kepada suatu kumpulan ucapan, dan jika memang begitu, dapat dikatakan bahwa ini adalah Q. Tapi tidak diketahui apakah Q adalah sumber yang tertulis atau lisan, dan kalau memang tertulis apakah naskahnya satu atau lebih? Apalagi istilah 'Logia' bukan hanya berarti suatu kumpulan ucapan. Dan dalam beberapa tulisan orang-orang Kristen zaman purba, dan mungkin juga oleh Papias sendiri, istilah itu dipakai dalam arti "Injil".  Nampaknya tidak dapat disangkal bahwa rasul Matius memang punya sangkut-paut dengan Injil yang memakai namanya, bukan dalam isi, tapi dalam judul, yang barangkali diikatkan pada Injil ini pada permulaan abad ke-2.
Hal ini mencerminkan kepercayaan yang meluas pada waktu itu bahwa dialah penulisnya. Dia tidak cukup terkemuka untuk dianggap sebagai penulis Injil itu sekiranya penulisnya tidak diketahui.  Kenyataan bahwa ia disebut 'Matius' dan bukan 'Lewi' waktu ia dipanggil oleh Yesus untuk mengikuti-Nya tidak dapat dipakai sebagai alasan yang kuat bahwa dialah penulisnya. Apa dan dalam bentuk apa sebenarnya hubungan rasul Matius dengan Injil ini tak dapat diketahui dengan tepat, tapi kalau bukan dia penulis Injil itu, besar sekali kemungkinan bahwa ia adalah seorang pemimpin dalam masyarakat di mana Injil ini lahir (masyarakat yang dimaksud barangkali adalah semacam sekolah katekisasi).
Atau kalau bukan demikian, mungkin ia punya peranan penting dalam pengumpulan dan penurunan bahan-bahan yang dimasukkan ke dalam Injil itu. Susunan yang sistematis dari Injil itu sering dianggap menunjukkan tanda-tanda pekerjaan seorang pejabat cukai. Bagaimana juga, penulis Injil ini mungkin berpikir tentang tugasnya sendiri waktu ia menulis, bahwa "setiap ahli Taurat yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Surga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harga yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya."[3]


BAB II
PENGERTIAN PUASA
Etimologi
Kata  ‘puasa’ berasal dari kata tsom dalam bahasa Ibrani dan φαίνω (Phaino) yaitu kata benda aorist pasif orang kedua tunggal yang artinya Penyemiran, memberikan cahaya, menjadi terang atau bersinar.[4]
Terminologi
Menurut Ensiklopedia Grolier, puasa adalah : Tindakan menjauhkan diri dari makanan, baik secara keseluruhan atau sebagian, untuk suatu masa tertentu.
Berpuasa adalah dengan sukarela dan dengan sengaja tidak makan dan minum dengan tujuan agar supaya dapat memusatkan pikiran terhadap doa. Atau dengan lain perkataan, puasa adalah suatu keputusan tindakan yang dengan kesadaran penuh menjauhkan diri dari makanan ataupun minuman untuk menambah kuasa yang lebih besar pada doa seseorang.
Jenis-jenis Puasa
Pertama: Puasa Normal, dilakukan tanpa makanan selama masa tertentu dan hanya memasukkan cairan. Lamanya bisa satu hari (Hakim-hakim 20:26).
 Kedua: Puasa Mutlak, dilakukan tanpa makanan atau air (Ester 4:16; Yunus 3:5-7).

 

Ketiga: Puasa Parsial, melibatkan penghilangan jam makan dalam sehari, atau menghilangkan makanan tertentu untuk suatu masa tertentu.
Keempat: Puasa Bergilir, melibatkan penghindaran makan tertentu secara berkala.
TUJUAN BERPUASA
Untuk meremukkan jiwa (Mazmur 69:11), Untuk merendahkan diri (Ezra 8:21; Mazmur 35:13), Untuk mencari TUHAN (2 Tawarikh 20:3-4), dan Untuk bersiap dalam peperangan rohani (Matius 17:21).
MANFAAT BERPUASA
Meletakkan tubuh pada tempatnya (1 Korintus 9:27), Memberikan kemenangan atas pencobaan (Matius 4:1-2), Mempertajam pengertian rohani kita sehingga memampukan kita mengambil keputusan yang benar (Matius 4:10).

KARAKTERISTIK PUASA YANG ALKITABIAH (Yesaya 58:3-9)
- Puasa Para Murid (Matius 17:21).
- Puasa Ezra (Ezra 8:23).
- Puasa Samuel (1 Samuel 7:6).
- Puasa Elia (1 Raja-raja 19:4-8).
- Puasa Janda (1 Raja-raja 17:16).
- Puasa Rasul Paulus (KPR. 9:9).
- Puasa Daniel (Daniel 1:8).
- Puasa Yohanes Pembaptis (Lukas 1:15).
- Puasa Ester (Ester 4:16’ 5:2).[5]

Eksposisi Hal Berpuasa Dalam Matius 6:16-18
Ada beberapa hal yang dimaksud dalam hal berpuasa ini. Dalam ayat-ayat di atas ada suatu peringatkan mengenai kemunafikan dalam hal berpuasa, seperti sebelumnya dalam hal memberi sedekah dan berdoa.  Pertama: Di sini dipandang bahwa ibadah puasa merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh murid-murid Kristus apabila Allah, dalam pemeliharaan-Nya, mewajibkannya kepada mereka, dan apabila masalah-masalah kejiwaan mereka sendiri mengharuskan mereka untuk menjalankannya. Waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa (Mat. 9:15). Hal berpuasa di sini disebutkan terakhir, sebab berpuasa pada intinya bukanlah suatu kewajiban itu sendiri, melainkan suatu sarana untuk mencondongkan hati kita agar dapat melakukan kewajiban-kewajiban lain.
Doa disebutkan di antara hal bersedekah dan berpuasa, sebagai sesuatu yang merupakan hidup dan jiwa bagi keduanya. Di sini, Kristus terutama berbicara mengenai puasa-puasa yang dijalankan secara pribadi, seperti yang ditetapkan orang-orang tertentu bagi diri mereka sendiri, sebagai persembahan yang dilakukan atas kehendak bebas diri sendiri. Puasa seperti ini umumnya dilakukan oleh orang-orang Yahudi yang saleh. Sebagian orang berpuasa selama sehari, sebagian yang lain selama dua hari, yang lain lagi sekali seminggu, dan ada pula yang lebih jarang, sesuai kebutuhan masing-masing. Pada hari-hari itu, mereka tidak makan sampai matahari terbenam, dan kalaupun makan, mereka hanya makan sangat sedikit. Bukan puasa orang Farisi yang dijalankan selama dua kali semingguyang ditegur Kristus, melainkan sikap sok pamer mereka dalam berpuasa (Luk. 18:12).
Berpuasa ini memang kebiasaan yang patut dipuji, dan kita pantas merasa prihatin karena kebiasaan ini umumnya begitu dilalaikan oleh orang-orang Kristen. Hana sering berpuasa (Luk. 2:37). Kornelius berpuasa dan berdoa (Kis. 10:30). Orang Kristen mula-mula banyak berpuasa (Kis. 13:3; 14:23). Puasa pribadi juga dianggap sebagai kebiasaan yang lazim dalam 1 Korintus 7:5. Puasa adalah suatu tindakan penyangkalan diri, pematian nafsu kedagingan, pembalasan yang kudus terhadap diri kita sendiri, dan perendahan diri kita di bawah tangan Allah. Melalui puasa, orang Kristen yang dewasa rohani mengakui bahwa tidak ada suatu hal apa pun yang dapat mereka banggakan, bahwa mereka sebenarnya tidak layak menerima makanan mereka sehari-hari. Puasa merupakan sarana untuk mengekang kedagingan beserta nafsu-nafsunya, dan untuk membuat kita semakin giat menjalani ibadah agama, karena perut kenyang cenderung membuat kita malas dan mengantuk. Rasul Paulus kerap kali berpuasa, dan dengan demikian melatih tubuh dan menguasainya seluruhnya.
Tidak Berpuasa seperti Orang Munafik
 Orang percaya diperingatkan untuk tidak berpuasa seperti orang munafik, supaya kita tidak kehilangan upahnya; dan semakin sulit kewajiban itu dilaksanakan, semakin besarlah kerugian yang diderita jika kita kehilangan upahnya. Orang-orang munafik pura-pura berpuasa. Dalam jiwa mereka sama sekali tidak terdapat penyesalan dosa dan kerendahan hati yang merupakan hidup dan jiwa dari berpuasa itu. Puasa yang mereka jalankan itu sekadar ikut-ikutan saja, sekadar unjuk diri dan bayang-bayang yang tanpa hakikat di dalamnya. Mereka berpuasa dan merasa diri sudah menjadi lebih rendah hati, padahal sebenarnya tidak, dan dengan demikian mereka berusaha menipu Allah, yang merupakan suatu tindakan penghinaan paling besar terhadap-Nya.
Puasa yang dikehendaki Allah adalah hari untuk merendahkan diri, bukan untuk menundukkan kepala seperti gelagah, bukan juga untuk membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur; kita keliru jika menyebut hal ini sebagai puasa (Yes. 58:5). Kalau hanya sebatas melatih tubuh saja dan tidak lebih dari itu, maka sedikit saja manfaatnya, karena itu bukan namanya berpuasa bagi Allah.
Mereka suka memamerkan puasa mereka, dan berusaha agar semua orang yang melihat mereka tahu bahwa hari itu merupakan puasa bagi mereka. Bahkan pada hari-hari itu mereka kerap terlihat di jalanan, padahal sebenarnya mereka harus berada di kamar masing-masing. Mereka juga memperlihatkan wajah yang murung dan muram, mereka melangkah dengan lamban dan khidmat, serta mengubah penampilan mereka dengan sedemikian buruk sehingga orang bisa melihat betapa seringnya mereka berpuasa dan dengan demikian akan menghormati mereka sebagai orang-orang yang saleh dan mampu menahan diri. Perhatikanlah, betapa menyedihkan melihat orang yang dalam taraf tertentu sudah dapat mengatasi godaan kenikmatan duniawi, yaitu kejahatan hawa nafsu, namun justru dibinasakan oleh keangkuhan mereka, yaitu kejahatan rohani, yang tidak kalah berbahayanya. Di sini juga disebutkan bahwa mereka sudah mendapat upahnya, yakni pujian dan penghormatan dari manusia yang begitu mereka dambakan.Mereka sudah mendapatkannya, dan hanya itulah yang bisa mereka dapatkan.
Berpuasa hanya diketahui diri sendiri
Orang Percaya diberi petunjuk bagaimana sebaiknya menjalankan puasa pribadi, yakni bahwa puasa itu hanya untuk diketahui diri  sendiri (ay. 17-18). Kristus tidak mengatakan seberapa sering kita harus berpuasa. Keadaan orang berbeda-beda, dan diperlukan hikmat untuk menentukannya. Roh dalam firman telah menyerahkannya kepada Roh dalam hati. Namun jadikanlah ini sebagai pedoman, yaitu bahwa setiap kali kamu menjalankan kewajiban ini, usahakanlah agar hal itu berkenan kepada Allah, dan bukan untuk mendapatkan pujian-pujian dari manusia. Kerendahan hati harus senantiasa mengiringi tindakan kita dalam merendahkan diri. Kristus tidak memberikan perintah untuk mengurangi hal apa pun yang memang nyata ada ketika orang berpuasa. Ia tidak berkata, "Makanlah sedikit saja, atau minumlah sedikit saja, atau minumlah anggur sedikit saja."
Tidak, tetapi "Biarlah tubuhmu menderita, namun janganlah memamerkan hal itu. Tampillah dengan air muka, penampilan, dan pakaianmu seperti biasa, dan sementara engkau berpantang dari kenikmatan jasmani, lakukanlah sedemikian rupa sehingga hal itu tidak menjadi perhatian orang, bahkan oleh orang yang sedang berada paling dekat denganmu. Tampillah dengan segar, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, sama seperti yang kamu lakukan pada hari-hari biasa, dengan sengaja sembunyikanlah ibadahmu itu. Dengan demikian, pada akhirnya engkau tidak akan kehilangan pujian untuk itu, sebab meskipun tidak ada pujian datang dari manusia, akan ada pujian yang berasal dari Allah." Berpuasa adalah merendahkan hati (Mzm. 35:13), itulah inti kewajiban ini. Oleh sebab itu, biarlah ini menjadi perhatianmu yang utama, dan untuk hal-hal yang lahiriah dalam berpuasa, janganlah berusaha memperlihatkannya kepada orang lain.
Jika kita bersungguh-sungguh dalam berpuasa, merendahkan diri, dan percaya pada kemahatahuan Allah sebagai saksi kita, dan juga pada kebaikan-Nya sebagai upah kita, maka akan kita dapati bahwa Dia benar-benar melihat apa yang tersembunyi dan sekaligus akan memberikan upah secara terang-terangan. Ibadah puasa, jika dilakukan dengan benar, akan segera dibalas dengan pesta kelimpahan yang abadi. Perkenanan Allah terhadap puasa-puasa pribadi kita harus membuat kita mati, baik itu terhadap pujian manusia (kita tidak boleh melaksanakan kewajiban itu untuk mendapatkan pujian) maupun terhadap kecaman manusia (kita tidak boleh melalaikan kewajiban ini karena takut kepada mereka). Puasa Daud berubah menjadi cela baginya (Mzm. 69:11), namun demikian, dalam ayat Mzm. 69:14 dikatakan, Tetapi aku, biar saja orang berkata sesuka hati mengenai aku, aku berdoa kepada-Mu, ya TUHAN, pada waktu Engkau berkenan.[6]
Topik tentang hal berpuasa dalam Injil Markus dan Injil Lukas
Di dalam Markus 2:18-22 banyak berbicara mengenai esensi dan maksud dari puasa itu kepada orang Yahudi. Sebelumnya Kristus didesak untuk membuktikan bahwa diri-Nya tidak bersalah ketika Dia bergaul dengan pemungut cukai dan orang berdosa. Sekarang giliran-Nya untuk membuktikan bahwa murid-murid-Nya benar. Bila mereka melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, Ia akan membenarkan dan menyokong mereka.
 Ia membenarkan mereka dalam hal tidak berpuasa, sebagai tanggapan atas celaan orang Farisi terhadap mereka. Mengapa orang Farisi dan murid-murid Yohanes berpuasa? Karena mereka sudah biasa berpuasa, orang Farisi berpuasa dua kali seminggu (Luk. 18:12), dan boleh jadi murid-murid Yohanes juga melakukannya. Sepertinya, justru hari itu, ketika Kristus dan para murid-Nya sedang berpesta di rumah Lewi, adalah hari orang Farisi berpuasa, sebab istilah yang digunakan adalah nesteuousi -- mereka berpuasa (waktu kini) atau sedang berpuasa, yang semakin menambah sakit hati mereka. Begitulah orang-orang fanatik selalu membuat kebiasaan mereka menjadi pedoman mutlak yang harus diikuti, dan mereka akan mencela serta menyalahkan semua orang yang tidak sepenuhnya melaksanakan hal itu. Secara menyakitkan mereka memberikan kesan bahwa bila Kristus bergaul dengan orang berdosa untuk membawa kebaikan kepada mereka, sebagaimana yang dikatakan-Nya sebagai pembelaan, para murid-Nya justru memuaskan nafsu makan mereka, sebab mereka tidak tahu apa itu berpuasa atau menyangkal diri. Perhatikanlah, kalau orang merasa dengki, hal-hal terburuklah yang selalu dicurigainya.
Dua hal yang dibela Kristus menyangkut murid-murid-Nya yang tidak berpuasa.  Pertama: Bahwa saat ini adalah hari-hari penghiburan bagi mereka, dan karena itu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk berpuasa seperti waktu yang akan datang (ay. 19-20). Segala sesuatu itu ada waktunya. Mereka yang akan memasuki hidup pernikahan harus menantikan masalah dan kesusahan badani. Namun, selama kekhidmatan pernikahan, pasangan pengantin bersukacita dan merasa sudah selayaknya demikian. Sungguh tidak masuk akal bahwa mempelai Simson menangis di sampingnya selama mereka mengadakan perjamuan itu (Hak. 14:17). Kristus dan murid-murid-Nya baru saja menikah, sang mempelai laki-laki itu sedang bersama mereka, dan pernikahan masih sedang dirayakan (terutama bagi Matius). Bila sang mempelai laki-laki akan diambil dari mereka untuk diutus ke negeri yang jauh untuk melaksanakan tugasnya, maka barulah pantas mereka berlaku sebagai janda, dalam kesendirian dan berpuasa.
Kedua:  Bahwa saat ini merupakan hari-hari permulaan bagi mereka dan karena itu sekarang ini mereka belum begitu tahan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang berat seperti yang akan mereka jalani di kemudian hari. Orang-orang Farisi sudah lama terbiasa dengan kegiatan-kegiatan keras semacam itu, dan Yohanes Pembaptis sendiri pun datang tanpa makan dan minum. Sejak awal, murid-murid Yohanes sudah membiasakan diri menghadapi berbagai kesukaran, dan oleh sebab itu, lebih mudah menjalankan puasa yang ketat dan sering. Namun, tidak demikian halnya dengan murid-murid Kristus, Guru mereka datang makan dan minum, dan belum mendidik mereka untuk menjalani ibadah-ibadah agama yang berat, sebab segala sesuatu ada waktunya.
Menyuruh mereka untuk sering berpuasa sejak awal akan mematahkan semangat mereka, dan mungkin saja akan membuat mereka takut mengiring Kristus. Hal ini akan membawa akibat buruk bagaikan mengisi anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, atau menambalkan secarik kain yang belum susut pada yang sudah usang dan lapuk (ay. 21-22). Perhatikanlah, dengan penuh belas kasihan Allahmempertimbangkan keadaan orang Kristen muda, bahwa mereka masih lemah dan rentan; jadi kita pun harus bersikap seperti itu. Janganlah kita mengharapkan pekerjaan yang melebihi apa yang sudah ditentukan untuk sehari itu dan biarlah kita menyesuaikan diri dengan kekuatan kita pada hari itu, sebab bukan kita yang memberikan kekuatan pada hari itu. Banyak orang membenci makanan tertentu yang sebenarnya baik karena ketika masih muda mereka memakannya sampai terlalu kenjang. Sama halnya ada banyak orang yang curiga terhadap pembebanan atas diri mereka dengan bermacam-macam kegiatan ibadah, yang bahkan disertai dengankorban sajian, pada saat mereka baru memulai. Orang-orang Kristen yang lemah harus berhati-hati agar tidak memikul beban terlampau berat dan membuat kuk Kristus menjadi tidak seperti yang seharusnya, yaitu mudah, enak, dan menyenangkan hati.
Sedangkan dalam Lukas 5:33-39 berbicara mengenai Hal berpuasa , seluruh perikop ini telah dicatat dalam Matius dan Markus. Kisah tersebut bukanlah tentang suatu mujizat yang dilakukan Tuhan Yesus, tetapi mengenai beberapa keajaiban anugerah-Nya. Bagi orang-orang yang memahaminya dengan benar, keajaiban-keajaiban anugerah ini pun merupakan bukti jati diri Kristus sebagai utusan Allah, yang tidak kalah kuat bila dibandingkan dengan bukti-bukti lainnya.  Inilah keunikan dari injil-injil yang di tulis oleh 3 karakter yang berbeda-beda. Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa hal berpuasa tidak dimasukan dalam injil Yohanes karna Injil Yohanes tidak lagi membicarakan kejadian-kejadian yang Yesus lakukan seperti dalam ketiga injil lainnya. Dalam injil Yohanes langsung pada pasal 1 dimulai dengan Firman yang menjadi manusia dan dalam injil Yohanes sendiri penulisannya mengangkat pribadi Yesus sebagai Anak Allah. Kenapa demikian, karena isi kitab Yohanes berbicara mengenai Pribadi Allah dan karya penyelamatan.

















BAB III
KESIMPULAN
Kitab inil-injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes mempunyai gaya bahasa dan karakter penulisan yang berbeda-beda. Topic yang diangkat disini adalah berbicara mengenai Hal berpuasa dan tema ini ada dalam ketiga Injil ini kecuali Injil Yohanes. "Makan dan minum" tampaknya menjadi topik yang disoroti oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dalam dua perikop yang ada dalam Injil Matius dan Injil Markus. Pada perikop pertama, orang Farisi dan ahli Taurat mempertanyakan sikap Yesus yang makan dan minum bersama orang-orang berdosa. Pada perikop kedua, mereka mempertanyakan alasan murid-murid Yesus makan dan minum, padahal murid-murid orang Farisi dan murid-murid Yohanes berpuasa. Mereka tidak terima kedua hal tersebut sebab hakikat keagamaan mereka sangat legalistis. Lihatlah kontras antara sikap orang Farisi dengan sikap Yesus terhadap "pendosa" pada perikop pertama. Yesus bersikap demikian karena Ia datang agar mereka berkesempatan untuk bertobat. Para "pendosa\' bersukaria menikmati perjamuan, sementara orang Farisi hanya mengomel. Sukacita terbesar memang terjadi bila manusia bisa berada dalam persekutuan dengan Allah. Kehadiran-Nya membawa kesukaan pada para sahabat-Nya. Kelak ketika Ia tidak bersama mereka, barulah mereka berpuasa. Yesus menerangkan bahwa puasa, sebagai tanda pertobatan, adalah awal untuk menghayati anugerah Allah. Pemikiran orang Farisi yang menganggap diri benar karena usaha keagamaan yang ketat, tidak cocok dengan anugerah Allah yang memperbarui dari hati ke perbuatan. Injil dari Yesus bagaikan anggur baru yang tidak cocok ditaruh dalam kirbat keagamaan yang usang. Dari perikop ini intinya adalah berpuasa bukanlah sebuah hobby atau kewajiban belaka tetapi berkaitan dengan hal yang sangat diinginkan Tuhan adalah membangun hubungan yang intim dengan Tuhan dan menikmati hubungan dengan Tuhan.




[1] http://www.sarapanpagi.org/keempat-injil-vt121.html. Diakses 9 November 2014
[2] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, cetakan ke-empat, Januari, 1999) 466
[3] The New Bible Commentary - Revised, Inter Varsity Press: 
London, 1976
[4] BW8
[5] http://www.sabdaspace.org/doa_puasa_menurut_alkitab, Diakses 9 Nov 2014
[6] Matthew Henry commentary BW8 Matius 6:16-18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar