Senin, 08 Agustus 2016

MASALAH INJIL BARNABAS

MASALAH INJIL BARNABSB

MASALAH INJIL BARNABAS
1. Barnabas bukanlah salah satu dari ke-12 murid Tuhan Yesus.
2. Barnabas tidak pernah bercakap-cakap dan tatap muka secara langsung dengan Tuhan Yesus.
3. Barnabas tidak pernah dinyatakan oleh Tuhan Yesus sebagai murid yang paling dikasihi.
4. Barnabas seorang keturunan suku Lewi berasal dari pulau Cyprus, menggabungkan diri dengan para rasul setelah Tuhan Yesus naik ke Surga (Kisah Rasul 4:36-37)
5. Injil Barnabas dicatat pada abad ke-13 dalam bahasa Italy.

Keterangan didalam Injil palsu Barnabas sangat bertentangan dengan situasi dan kondisi daerah Palestina yang sebenarnya.

1. Kesalahan geografis.
Pasal 20 Injil palsu Barnabas menceritakan bahwa Yesus dikatakan dari daerah Galilea menuju ke daerah Nazaret naik perahu. Padahal semua orang di sana pasti tahu kalau daerah Nazaret itu letaknya di daratan pedalaman, bukan diseberang lautan, dan jaraknya antara daerah Galilea dengan Nazaret itu sekitar 20 km. Mana mungkin orang yang mau menuju ke daratan malah naik perahu. Dengan secara jelas menunjukkan suatu bukti yang otentik, bahwa penulis Injil palsu Barnabas itu tidak mengetahui situasi dan kondisi daerah Palestina yang sebenarnya. Mungkin penulisnya mimpi bin ngigo kali...

2. Kesalahan biografi sejarah.
Pasal 3. Penulis Injil Palsu Barnabas menceritakan bahwa ketika Yesus lahir Pilatus sudah memerintah daerah Palestina sebagai gubernur. Padahal menurut data-data sejarah Pilatus datang memerintah daerah Yudea (Palestina) tahun 26-36 Masehi. Jadi dengan demikian menunjukkan bahwa penulis Injil palsu Barnabas itu adalah orang yang sangat awam tentang kejadian yang sebenarnya, apalagi kalau dituntut untuk menunjukkan bukti data-data sejarah... wah malah salah kaprah dan nggladrah.

3. Kesalahan dalam bidang peraturan hukum keagamaan.
Pasal 152. Penulis injil palsu Barnabas menceritakan bahwa orang-orang kafir atau orang-orang diluar Yahudi termasuk pasukan tentara romawi bebas memasuki tempat ibadat suci orang Yahudi. Di sana dikatakan bahwa Yesus sedang berdialog dengan pasukan tentara Romawi di dalam rumah ibadah (tempat suci) orang Yahudi. Padahal itu merupakan pelanggaran peraturan hukum kenajisan keagamaan yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh seluruh bangsa Yahudi, bahwa "orang-orang diluar Yahudi yang tidak menganut agama Yahudi dilarang masuk tempat ibadat". Orang-orang Romawi sendiri dalam menyikapi masalah ini sangatlah hati-hati sekali, sebab kalau sampai peraturan hukum kenajisan itu dilanggar akan menimbulkan huru-hara dan prahara besar. Ternyata penulis Injil palsu Barnabas kurang hati-hati dan teliti di dalam menyikapi serta menyoroti masalah ini.

4. Kesalahpahaman dalam penilaian kaum biarawan.
Pasal 145. Penulis Injil palsu Barnabas menceritakan bahwa orang-orang Farisi itu seolah-olah tinggal dalam biara, sehingga bisa dikatakan kaum biarawan. Padahal yang dikatakan kaum biarawan pada waktu itu adalah orang Esen (bhs. Yunani; Essenoi), yaitu orang-orang yang mengisolasi diri atau orang-orang yang menjauhkan diri dari keramaian duniawi atau juga dengan kata lain, orang-orang yang hidupnya selalu mendekatkan diri kepada Sang Ilahi serta menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi. Tetapi kalau kaum Farisi adalah orang-orang yang menekuni dalam bidang agama, namun mereka semua masih bebas bergaul dengan masyarakat luas. Ternyata penulis Injil palsu Barnabas adalah orang yang sering salah paham sehingga menyamakan dan mencampuradukkan golongan Farisi dengan golongan Esen. Makanya kalau tidak tahu jangan sok memberi tahu nanti malah keliru, akhirnya jadi lucu.

5. Kesalahan dalam penilaian satuan mata uang.
Pasal 98. Penulis Injil palsu Barnabas menceritakan bahwa Philip menjawab Yesus, "Tuan 200 keping emas tidak cukup untuk membeli roti sekian banyak itu." Padahal satuan mata uang di Palestina pada waktu itu adalah dinar, dan logamnya adalah perak, bukan emas. Satu dinar pada waktu itu adalah standar (ukuran) bayaran untuk upah buruh kerja sehari (Matius 20:2,13). Jadi 200 keping emas mestinya kalau dibelikan roti, sudah mencukupi orang banyak sekali. Dengan demikian, penulis Injil palsu Barnabas sangat awam dalam perhitungan dan penilaian mata uang. Apakah mungkin penulis Injil palsu Barnabas itu adalah orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolahan, namun langsung menerima ilham, maka dari itu sering timbul dan muncul kesalahpahaman.

6. Kesalahan dalam perayaan tahun Yobel
Pasal 82. Penulis Injil palsu Barnabas menceritakan bahwa tahun Yobel diperingati setiap 100 (seratus) tahun sekali. Padahal tahun Yobel diperingati oleh bangsa Yahudi setiap 50 (lima puluh) tahun sekali, sesuai yang tertulis dalam kitab Taurat (Imamat 25:8-13). Pertama kali tahun Yobel diperingati setiap 100 tahun sekali atas dasar dekrit (keputusan) Paus Yonisius VII pada tahun 1300. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Injil palsu Barnabas dicatat pada sekitar abad 13. Sekarang ketahuanlah kedok kepalsuannya. Sebab kalau itu adalah Injil yang ditulis oleh Barnabas yaitu rekan para rasul, seorang suku Lewi dari Siprus (Kisah Rasul 4:36), sudah jelas pasti dicatat pada abad 1 (pertama) dan paling tidak dengan mempergunakan bahasa Yunani, Ibrani atau Aram, bukan ditulis pada abad 14 dan juga bukan menggunakan bahasa Italy, nanti malah akan menyebabkan para pembacanya sulit mengerti, lha wong Barnabas sendiri tidak pernah mendengar bahasa Italy, apalagi mempelajarinya. Kecuali Barnabas imitasi alias tidak asli, yang bikin cerita dan dongeng 1001 mimpi dengan membonceng atas nama Injil Barnabas.

Pertentangan yang mencolok antara Injil Barnabas dan Al Qur'an.

Al Qur'an mengatakan: Isa Almasih atau Mesias adalah Isa putra Maryam (Qs. 3:45, Qs. 4:171).
Injil Barnabas mengatakan: Muhammad adalah Al Masih atau Mesias.

Pertanyaannya, manakah diantara kedua pernyataan mengenai Al Masih itu yang benar? Al Qur'an atau Injil Barnabas? Kalau Al Qur'an yang benar berarti Injil Barnabas yang salah, tapi kebalikannya kalau Injil Barnabas yang benar berarti Al Qur'an yang salah. Pertanyaannya: Yang dikatakan Al Masih atau mesias dalam Al Qur'an itu Muhammad atau Isa putra Maryam? Kalau yang dikatakan Al Qur'an (Qs. 3:45; Qs 4:171) Al Masih itu adalah Isa putra Maryam, berarti Injil Barnabas telah melecehkan pernyataan Al Qur'an.

Menurut Injil Barnabas: Muhammad adalah Imam Mahdi.
Menurut HSM Jilid I hal. 74: Imam Mahdi itu adalah Isa.
Hadits Ibnu Majjah: "La mahdia illa isabnu maryam", artinya: "Tidak ada Imam Mahdi kecuali Isa putra Maryam".

Pertanyaannya: Yang benar pernyataan Injil Barnabas atau Hadits? Kalau yang benar pernyataan Hadits berarti Injil Barnabas juga melecehkan pernyataan Hadits. Pantaskah buku yang banyak kesalahannya dan tidak selaras dengan pernyataan Al Qur'an dan Hadits itu dipertahankan terus?


HAL BERPUASA

BAB I
PENDAHULUAN
Alkitab tidak memerintahkan orang-orang Kristen untuk berpuasa. Puasa bukanlah sesuatu yang dituntut atau diminta Allah dari orang-orang Kristen. Pada saat yang sama, Alkitab memperkenalkan puasa sebagai sesuatu yang baik, berguna dan perlu dilakukan. Tujuan dari puasa adalah melepaskan mata kita dari hal-hal duniawi dan berpusat pada Tuhan. Puasa adalah cara untuk mendemonstrasikan kepada Tuhan, dan kepada diri sendiri, bahwa ada  keseriusan dalam hubungan dengan Tuhan. Puasa menolong orang percaya untuk memperoleh hubungan yang lebih intim dengan Tuhan.
Berhubungan dengan itu maka orang sangat cenderung berpuasa secara demonstratif. Orang amat suka menonjolkan bahwa ia berpuasa. Dalam kitab Injil-injil setidaknya ada satu perikop yang di tulis oleh tiga orang yang berbeda secara karakter, gaya penulisan dan berbeda waktu pada saat itu. Dalam kitab Matius 6:16-18 LAI memberikan topic tentang Hal berpuasa, Kitab Markus 2:18-22 memberikan topic yang sama yaitu Hal berpuasa, Kitab Lukas 5:33-39 juga berbicara mengenai Hal Berpuasa, tetapi dalam kitab Yohanes tidak membicarakan tentang hal Berpuasa, kenapa? Saya akan kupas lebih dalam mengenai perikop ini dan tanggapan-tanggapan berkaitan dengan topic yang sama pada ketiga kitab ini pada BAB II.



Latar Belakang Injil Matius
Injil ini dengan tepat sekali ditempatkan pertama sebagai pengantar PB dan "Mesias, Anak Allah yang hidup" (Mat 16:16). Walaupun nama pengarang tidak disebutkan dalam nas Alkitab, kesaksian semua bapa gereja yang mula-mula (sejak kira-kira tahun 130 M) menyatakan bahwa Injil ini ditulis oleh Matius, salah seorang murid Yesus.  Jikalau Injil Markus ditulis untuk orang Romawi dan Injil Lukas untuk Teofilus dan semua orang percaya bukan Yahudi, maka Injil Matius ditulis untuk orang percaya bangsa Yahudi.
Latar Belakang Yahudi dari Injil ini tampak dalam banyak hal, termasuk  Pertama: ketergantungannya pada penyataan, janji, dan nubuat PL untuk membuktikan bahwa Yesus memang Mesias yang sudah lama dinantikan; 
Kedua:  hal merunut garis silsilah Yesus, bertolak dari Abraham (Mat 1:1-17); 
Ketiga:  pernyataannya yang berulang-ulang bahwa Yesus adalah "Anak Daud" (Mat 1:1; Mat 9:27; Mat 12:23; Mat 15:22; Mat 20:30-31; Mat 21:9,15; Mat 22:41-45); 
Keempat  penggunaan istilah yang khas Yahudi seperti "Kerajaan Sorga" (yang searti dengan "Kerajaan Allah") sebagai ungkapan rasa hormat orang Yahudi sehingga segan menyebut nama Allah secara langsung dan  Kelima:  petunjuknya kepada berbagai kebiasaan Yahudi tanpa memberikan penjelasan apa pun (berbeda dengan kitab-kitab Injil yang lain). 
Sekalipun demikian, Injil ini tidak semata-mata untuk orang Yahudi. Seperti amanat Yesus sendiri, Injil Matius pada hakikatnya ditujukan kepada seluruh gereja, serta dengan saksama menyatakan lingkup universal Injil (mis. Mat 2:1-12; Mat 8:11-12; Mat 13:38; Mat 21:43; Mat 28:18-20).  Tanggal dan tempat Injil ini berasal tidak dapat dipastikan. Akan tetapi, ada alasan kuat untuk beranggapan bahwa Matius menulis sebelum tahun 70 M ketika berada di Palestina atau Antiokia di Siria. Beberapa sarjana Alkitab percaya bahwa Injil ini merupakan Injil yang pertama ditulis, sedangkan ahli yang lain beranggapan bahwa Injil yang ditulis pertama adalah Injil Markus. 
Matius memperkenalkan Yesus sebagai penggenapan pengharapan Israel yang dinubuatkan. Yesus menggenapi nubuat PL dalam kelahiran-Nya (Mat 1:22-23), tempat lahir (Mat 2:5-6), peristiwa kembali dari Mesir (Mat 2:15) dan tinggal di Nazaret (Mat 2:23); Ia juga diperkenalkan sebagai Oknum yang didahului oleh perintis jalan Sang Mesias (Mat 3:1-3); dalam hubungan dengan lokasi utama dari pelayanan-Nya di depan umum (Mat 4:14-16), pelayanan penyembuhan-Nya (Mat 8:17), peranan-Nya selaku hamba Allah (Mat 12:17-21), ajaran-Nya dalam bentuk perumpamaan (Mat 13:34-35), peristiwa memasuki Yerusalem dengan jaya (Mat 21:4-5) dan penangkapan-Nya (Mat 26:56).[1]
Di kalangan jemaat pertama, ada kebulatan pendapat bahwa Injil ini ditulis oleh rasul Matius dalam bahasa Ibrani (atau Aram) dan bahwa  Injil ini ditulis lebih dulu dari Injil-injil lainnya. Pandangan ini sekarang banyak ditentang oleh ahli-ahli. Alasan menentang pendapat ini ialah, pertama apakah seorang rasul yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kejadian-kejadian yang dicatat, toh akan mengambil bahan dari Injil Markus, yang penulisnya bukan rasul? Kelihatan ini kurang masuk akal. Tapi dijawab bahwa tulisan Markus dianggap berwibawa bahkan oleh rasul-rasul lain karena mencatat ajaran Petrus. Mungkin Matius telah memakai Injil Markus dengan mengubah dan memperbaikinya di sana-sini untuk menyesuaikannya dengan apa yang dialaminya sendiri. 
Alasan selanjutnya menentang pendapat Matius-lah penulisnya ialah, bahwa beberapa dari cerita, biasanya cerita tentang mujizat-mujizat, 
dalam bahan-bahan yang khas Matius, dan beberapa ajaran, terutama ajaran yang menekankan eskatologi futuris, tidak mungkin berasal dari seorang rasul.
  Ini adalah suatu masalah, tapi untuk menerima pendapat itu begitu saja berarti telah memberi jawaban yang terlalu pasti pada persoalan, sampai berapa jauhkah Injil Markus merupakan patokan dan apakah Injil-injil yang lain masing-masing dengan tekanan khususnya, tidak memberikan gambaran yang lebih lengkap daripada Injil Markus tentang perkataan dan perbuatan Yesus. 
Papias (40-130 Masehi) mengatakan, "Matius menulis Logia dalam bahasa Ibrani dan setiap orang menafsirkannya menurut kesanggupannya." Jadi Papias menganggap bahwa Injil Matius ditulis dalam bahasa Aram, suatu pendapat yang pada umumnya tidak dianut orang lagi, oleh karena Matius menggunakan Injil Markus dan Septuaginta (LXX). Orang-orang yang sependapat dengan Papias harus juga menganggap bahwa Injil Matius didasarkan pada suatu revisi menyeluruh dari naskah asli dalam bahasa Aram itu yang sering menunjuk kepada Injil Markus, dan hal ini sangat tidak mungkin. [2]
Jadi Papias harus dianggap salah tentang bahasa, tapi benar tentang penulis Injil Matius; atau menunjuk kepada sesuatu yang lain. Jika Papias tidak menunjuk kepada Injil Matius, apakah yang dimaksudkannya dengan 'Logia'?  Ada dua pendapat yang telah mendapat sokongan di kalangan ahli. Kemungkinan pertama ialah, Logia itu suatu kumpulan "kesaksian" atau  kutipan dari Perjanjian Lama, tapi hampir tidak ada bukti bahwa pernah ada kumpulan semacam itu dalam bentuk buku. Kedua, barangkali 'Logia' itu menunjuk kepada suatu kumpulan ucapan, dan jika memang begitu, dapat dikatakan bahwa ini adalah Q. Tapi tidak diketahui apakah Q adalah sumber yang tertulis atau lisan, dan kalau memang tertulis apakah naskahnya satu atau lebih? Apalagi istilah 'Logia' bukan hanya berarti suatu kumpulan ucapan. Dan dalam beberapa tulisan orang-orang Kristen zaman purba, dan mungkin juga oleh Papias sendiri, istilah itu dipakai dalam arti "Injil".  Nampaknya tidak dapat disangkal bahwa rasul Matius memang punya sangkut-paut dengan Injil yang memakai namanya, bukan dalam isi, tapi dalam judul, yang barangkali diikatkan pada Injil ini pada permulaan abad ke-2.
Hal ini mencerminkan kepercayaan yang meluas pada waktu itu bahwa dialah penulisnya. Dia tidak cukup terkemuka untuk dianggap sebagai penulis Injil itu sekiranya penulisnya tidak diketahui.  Kenyataan bahwa ia disebut 'Matius' dan bukan 'Lewi' waktu ia dipanggil oleh Yesus untuk mengikuti-Nya tidak dapat dipakai sebagai alasan yang kuat bahwa dialah penulisnya. Apa dan dalam bentuk apa sebenarnya hubungan rasul Matius dengan Injil ini tak dapat diketahui dengan tepat, tapi kalau bukan dia penulis Injil itu, besar sekali kemungkinan bahwa ia adalah seorang pemimpin dalam masyarakat di mana Injil ini lahir (masyarakat yang dimaksud barangkali adalah semacam sekolah katekisasi).
Atau kalau bukan demikian, mungkin ia punya peranan penting dalam pengumpulan dan penurunan bahan-bahan yang dimasukkan ke dalam Injil itu. Susunan yang sistematis dari Injil itu sering dianggap menunjukkan tanda-tanda pekerjaan seorang pejabat cukai. Bagaimana juga, penulis Injil ini mungkin berpikir tentang tugasnya sendiri waktu ia menulis, bahwa "setiap ahli Taurat yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Surga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harga yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya."[3]


BAB II
PENGERTIAN PUASA
Etimologi
Kata  ‘puasa’ berasal dari kata tsom dalam bahasa Ibrani dan φαίνω (Phaino) yaitu kata benda aorist pasif orang kedua tunggal yang artinya Penyemiran, memberikan cahaya, menjadi terang atau bersinar.[4]
Terminologi
Menurut Ensiklopedia Grolier, puasa adalah : Tindakan menjauhkan diri dari makanan, baik secara keseluruhan atau sebagian, untuk suatu masa tertentu.
Berpuasa adalah dengan sukarela dan dengan sengaja tidak makan dan minum dengan tujuan agar supaya dapat memusatkan pikiran terhadap doa. Atau dengan lain perkataan, puasa adalah suatu keputusan tindakan yang dengan kesadaran penuh menjauhkan diri dari makanan ataupun minuman untuk menambah kuasa yang lebih besar pada doa seseorang.
Jenis-jenis Puasa
Pertama: Puasa Normal, dilakukan tanpa makanan selama masa tertentu dan hanya memasukkan cairan. Lamanya bisa satu hari (Hakim-hakim 20:26).
 Kedua: Puasa Mutlak, dilakukan tanpa makanan atau air (Ester 4:16; Yunus 3:5-7).

 

Ketiga: Puasa Parsial, melibatkan penghilangan jam makan dalam sehari, atau menghilangkan makanan tertentu untuk suatu masa tertentu.
Keempat: Puasa Bergilir, melibatkan penghindaran makan tertentu secara berkala.
TUJUAN BERPUASA
Untuk meremukkan jiwa (Mazmur 69:11), Untuk merendahkan diri (Ezra 8:21; Mazmur 35:13), Untuk mencari TUHAN (2 Tawarikh 20:3-4), dan Untuk bersiap dalam peperangan rohani (Matius 17:21).
MANFAAT BERPUASA
Meletakkan tubuh pada tempatnya (1 Korintus 9:27), Memberikan kemenangan atas pencobaan (Matius 4:1-2), Mempertajam pengertian rohani kita sehingga memampukan kita mengambil keputusan yang benar (Matius 4:10).

KARAKTERISTIK PUASA YANG ALKITABIAH (Yesaya 58:3-9)
- Puasa Para Murid (Matius 17:21).
- Puasa Ezra (Ezra 8:23).
- Puasa Samuel (1 Samuel 7:6).
- Puasa Elia (1 Raja-raja 19:4-8).
- Puasa Janda (1 Raja-raja 17:16).
- Puasa Rasul Paulus (KPR. 9:9).
- Puasa Daniel (Daniel 1:8).
- Puasa Yohanes Pembaptis (Lukas 1:15).
- Puasa Ester (Ester 4:16’ 5:2).[5]

Eksposisi Hal Berpuasa Dalam Matius 6:16-18
Ada beberapa hal yang dimaksud dalam hal berpuasa ini. Dalam ayat-ayat di atas ada suatu peringatkan mengenai kemunafikan dalam hal berpuasa, seperti sebelumnya dalam hal memberi sedekah dan berdoa.  Pertama: Di sini dipandang bahwa ibadah puasa merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh murid-murid Kristus apabila Allah, dalam pemeliharaan-Nya, mewajibkannya kepada mereka, dan apabila masalah-masalah kejiwaan mereka sendiri mengharuskan mereka untuk menjalankannya. Waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa (Mat. 9:15). Hal berpuasa di sini disebutkan terakhir, sebab berpuasa pada intinya bukanlah suatu kewajiban itu sendiri, melainkan suatu sarana untuk mencondongkan hati kita agar dapat melakukan kewajiban-kewajiban lain.
Doa disebutkan di antara hal bersedekah dan berpuasa, sebagai sesuatu yang merupakan hidup dan jiwa bagi keduanya. Di sini, Kristus terutama berbicara mengenai puasa-puasa yang dijalankan secara pribadi, seperti yang ditetapkan orang-orang tertentu bagi diri mereka sendiri, sebagai persembahan yang dilakukan atas kehendak bebas diri sendiri. Puasa seperti ini umumnya dilakukan oleh orang-orang Yahudi yang saleh. Sebagian orang berpuasa selama sehari, sebagian yang lain selama dua hari, yang lain lagi sekali seminggu, dan ada pula yang lebih jarang, sesuai kebutuhan masing-masing. Pada hari-hari itu, mereka tidak makan sampai matahari terbenam, dan kalaupun makan, mereka hanya makan sangat sedikit. Bukan puasa orang Farisi yang dijalankan selama dua kali semingguyang ditegur Kristus, melainkan sikap sok pamer mereka dalam berpuasa (Luk. 18:12).
Berpuasa ini memang kebiasaan yang patut dipuji, dan kita pantas merasa prihatin karena kebiasaan ini umumnya begitu dilalaikan oleh orang-orang Kristen. Hana sering berpuasa (Luk. 2:37). Kornelius berpuasa dan berdoa (Kis. 10:30). Orang Kristen mula-mula banyak berpuasa (Kis. 13:3; 14:23). Puasa pribadi juga dianggap sebagai kebiasaan yang lazim dalam 1 Korintus 7:5. Puasa adalah suatu tindakan penyangkalan diri, pematian nafsu kedagingan, pembalasan yang kudus terhadap diri kita sendiri, dan perendahan diri kita di bawah tangan Allah. Melalui puasa, orang Kristen yang dewasa rohani mengakui bahwa tidak ada suatu hal apa pun yang dapat mereka banggakan, bahwa mereka sebenarnya tidak layak menerima makanan mereka sehari-hari. Puasa merupakan sarana untuk mengekang kedagingan beserta nafsu-nafsunya, dan untuk membuat kita semakin giat menjalani ibadah agama, karena perut kenyang cenderung membuat kita malas dan mengantuk. Rasul Paulus kerap kali berpuasa, dan dengan demikian melatih tubuh dan menguasainya seluruhnya.
Tidak Berpuasa seperti Orang Munafik
 Orang percaya diperingatkan untuk tidak berpuasa seperti orang munafik, supaya kita tidak kehilangan upahnya; dan semakin sulit kewajiban itu dilaksanakan, semakin besarlah kerugian yang diderita jika kita kehilangan upahnya. Orang-orang munafik pura-pura berpuasa. Dalam jiwa mereka sama sekali tidak terdapat penyesalan dosa dan kerendahan hati yang merupakan hidup dan jiwa dari berpuasa itu. Puasa yang mereka jalankan itu sekadar ikut-ikutan saja, sekadar unjuk diri dan bayang-bayang yang tanpa hakikat di dalamnya. Mereka berpuasa dan merasa diri sudah menjadi lebih rendah hati, padahal sebenarnya tidak, dan dengan demikian mereka berusaha menipu Allah, yang merupakan suatu tindakan penghinaan paling besar terhadap-Nya.
Puasa yang dikehendaki Allah adalah hari untuk merendahkan diri, bukan untuk menundukkan kepala seperti gelagah, bukan juga untuk membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur; kita keliru jika menyebut hal ini sebagai puasa (Yes. 58:5). Kalau hanya sebatas melatih tubuh saja dan tidak lebih dari itu, maka sedikit saja manfaatnya, karena itu bukan namanya berpuasa bagi Allah.
Mereka suka memamerkan puasa mereka, dan berusaha agar semua orang yang melihat mereka tahu bahwa hari itu merupakan puasa bagi mereka. Bahkan pada hari-hari itu mereka kerap terlihat di jalanan, padahal sebenarnya mereka harus berada di kamar masing-masing. Mereka juga memperlihatkan wajah yang murung dan muram, mereka melangkah dengan lamban dan khidmat, serta mengubah penampilan mereka dengan sedemikian buruk sehingga orang bisa melihat betapa seringnya mereka berpuasa dan dengan demikian akan menghormati mereka sebagai orang-orang yang saleh dan mampu menahan diri. Perhatikanlah, betapa menyedihkan melihat orang yang dalam taraf tertentu sudah dapat mengatasi godaan kenikmatan duniawi, yaitu kejahatan hawa nafsu, namun justru dibinasakan oleh keangkuhan mereka, yaitu kejahatan rohani, yang tidak kalah berbahayanya. Di sini juga disebutkan bahwa mereka sudah mendapat upahnya, yakni pujian dan penghormatan dari manusia yang begitu mereka dambakan.Mereka sudah mendapatkannya, dan hanya itulah yang bisa mereka dapatkan.
Berpuasa hanya diketahui diri sendiri
Orang Percaya diberi petunjuk bagaimana sebaiknya menjalankan puasa pribadi, yakni bahwa puasa itu hanya untuk diketahui diri  sendiri (ay. 17-18). Kristus tidak mengatakan seberapa sering kita harus berpuasa. Keadaan orang berbeda-beda, dan diperlukan hikmat untuk menentukannya. Roh dalam firman telah menyerahkannya kepada Roh dalam hati. Namun jadikanlah ini sebagai pedoman, yaitu bahwa setiap kali kamu menjalankan kewajiban ini, usahakanlah agar hal itu berkenan kepada Allah, dan bukan untuk mendapatkan pujian-pujian dari manusia. Kerendahan hati harus senantiasa mengiringi tindakan kita dalam merendahkan diri. Kristus tidak memberikan perintah untuk mengurangi hal apa pun yang memang nyata ada ketika orang berpuasa. Ia tidak berkata, "Makanlah sedikit saja, atau minumlah sedikit saja, atau minumlah anggur sedikit saja."
Tidak, tetapi "Biarlah tubuhmu menderita, namun janganlah memamerkan hal itu. Tampillah dengan air muka, penampilan, dan pakaianmu seperti biasa, dan sementara engkau berpantang dari kenikmatan jasmani, lakukanlah sedemikian rupa sehingga hal itu tidak menjadi perhatian orang, bahkan oleh orang yang sedang berada paling dekat denganmu. Tampillah dengan segar, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, sama seperti yang kamu lakukan pada hari-hari biasa, dengan sengaja sembunyikanlah ibadahmu itu. Dengan demikian, pada akhirnya engkau tidak akan kehilangan pujian untuk itu, sebab meskipun tidak ada pujian datang dari manusia, akan ada pujian yang berasal dari Allah." Berpuasa adalah merendahkan hati (Mzm. 35:13), itulah inti kewajiban ini. Oleh sebab itu, biarlah ini menjadi perhatianmu yang utama, dan untuk hal-hal yang lahiriah dalam berpuasa, janganlah berusaha memperlihatkannya kepada orang lain.
Jika kita bersungguh-sungguh dalam berpuasa, merendahkan diri, dan percaya pada kemahatahuan Allah sebagai saksi kita, dan juga pada kebaikan-Nya sebagai upah kita, maka akan kita dapati bahwa Dia benar-benar melihat apa yang tersembunyi dan sekaligus akan memberikan upah secara terang-terangan. Ibadah puasa, jika dilakukan dengan benar, akan segera dibalas dengan pesta kelimpahan yang abadi. Perkenanan Allah terhadap puasa-puasa pribadi kita harus membuat kita mati, baik itu terhadap pujian manusia (kita tidak boleh melaksanakan kewajiban itu untuk mendapatkan pujian) maupun terhadap kecaman manusia (kita tidak boleh melalaikan kewajiban ini karena takut kepada mereka). Puasa Daud berubah menjadi cela baginya (Mzm. 69:11), namun demikian, dalam ayat Mzm. 69:14 dikatakan, Tetapi aku, biar saja orang berkata sesuka hati mengenai aku, aku berdoa kepada-Mu, ya TUHAN, pada waktu Engkau berkenan.[6]
Topik tentang hal berpuasa dalam Injil Markus dan Injil Lukas
Di dalam Markus 2:18-22 banyak berbicara mengenai esensi dan maksud dari puasa itu kepada orang Yahudi. Sebelumnya Kristus didesak untuk membuktikan bahwa diri-Nya tidak bersalah ketika Dia bergaul dengan pemungut cukai dan orang berdosa. Sekarang giliran-Nya untuk membuktikan bahwa murid-murid-Nya benar. Bila mereka melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, Ia akan membenarkan dan menyokong mereka.
 Ia membenarkan mereka dalam hal tidak berpuasa, sebagai tanggapan atas celaan orang Farisi terhadap mereka. Mengapa orang Farisi dan murid-murid Yohanes berpuasa? Karena mereka sudah biasa berpuasa, orang Farisi berpuasa dua kali seminggu (Luk. 18:12), dan boleh jadi murid-murid Yohanes juga melakukannya. Sepertinya, justru hari itu, ketika Kristus dan para murid-Nya sedang berpesta di rumah Lewi, adalah hari orang Farisi berpuasa, sebab istilah yang digunakan adalah nesteuousi -- mereka berpuasa (waktu kini) atau sedang berpuasa, yang semakin menambah sakit hati mereka. Begitulah orang-orang fanatik selalu membuat kebiasaan mereka menjadi pedoman mutlak yang harus diikuti, dan mereka akan mencela serta menyalahkan semua orang yang tidak sepenuhnya melaksanakan hal itu. Secara menyakitkan mereka memberikan kesan bahwa bila Kristus bergaul dengan orang berdosa untuk membawa kebaikan kepada mereka, sebagaimana yang dikatakan-Nya sebagai pembelaan, para murid-Nya justru memuaskan nafsu makan mereka, sebab mereka tidak tahu apa itu berpuasa atau menyangkal diri. Perhatikanlah, kalau orang merasa dengki, hal-hal terburuklah yang selalu dicurigainya.
Dua hal yang dibela Kristus menyangkut murid-murid-Nya yang tidak berpuasa.  Pertama: Bahwa saat ini adalah hari-hari penghiburan bagi mereka, dan karena itu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk berpuasa seperti waktu yang akan datang (ay. 19-20). Segala sesuatu itu ada waktunya. Mereka yang akan memasuki hidup pernikahan harus menantikan masalah dan kesusahan badani. Namun, selama kekhidmatan pernikahan, pasangan pengantin bersukacita dan merasa sudah selayaknya demikian. Sungguh tidak masuk akal bahwa mempelai Simson menangis di sampingnya selama mereka mengadakan perjamuan itu (Hak. 14:17). Kristus dan murid-murid-Nya baru saja menikah, sang mempelai laki-laki itu sedang bersama mereka, dan pernikahan masih sedang dirayakan (terutama bagi Matius). Bila sang mempelai laki-laki akan diambil dari mereka untuk diutus ke negeri yang jauh untuk melaksanakan tugasnya, maka barulah pantas mereka berlaku sebagai janda, dalam kesendirian dan berpuasa.
Kedua:  Bahwa saat ini merupakan hari-hari permulaan bagi mereka dan karena itu sekarang ini mereka belum begitu tahan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang berat seperti yang akan mereka jalani di kemudian hari. Orang-orang Farisi sudah lama terbiasa dengan kegiatan-kegiatan keras semacam itu, dan Yohanes Pembaptis sendiri pun datang tanpa makan dan minum. Sejak awal, murid-murid Yohanes sudah membiasakan diri menghadapi berbagai kesukaran, dan oleh sebab itu, lebih mudah menjalankan puasa yang ketat dan sering. Namun, tidak demikian halnya dengan murid-murid Kristus, Guru mereka datang makan dan minum, dan belum mendidik mereka untuk menjalani ibadah-ibadah agama yang berat, sebab segala sesuatu ada waktunya.
Menyuruh mereka untuk sering berpuasa sejak awal akan mematahkan semangat mereka, dan mungkin saja akan membuat mereka takut mengiring Kristus. Hal ini akan membawa akibat buruk bagaikan mengisi anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, atau menambalkan secarik kain yang belum susut pada yang sudah usang dan lapuk (ay. 21-22). Perhatikanlah, dengan penuh belas kasihan Allahmempertimbangkan keadaan orang Kristen muda, bahwa mereka masih lemah dan rentan; jadi kita pun harus bersikap seperti itu. Janganlah kita mengharapkan pekerjaan yang melebihi apa yang sudah ditentukan untuk sehari itu dan biarlah kita menyesuaikan diri dengan kekuatan kita pada hari itu, sebab bukan kita yang memberikan kekuatan pada hari itu. Banyak orang membenci makanan tertentu yang sebenarnya baik karena ketika masih muda mereka memakannya sampai terlalu kenjang. Sama halnya ada banyak orang yang curiga terhadap pembebanan atas diri mereka dengan bermacam-macam kegiatan ibadah, yang bahkan disertai dengankorban sajian, pada saat mereka baru memulai. Orang-orang Kristen yang lemah harus berhati-hati agar tidak memikul beban terlampau berat dan membuat kuk Kristus menjadi tidak seperti yang seharusnya, yaitu mudah, enak, dan menyenangkan hati.
Sedangkan dalam Lukas 5:33-39 berbicara mengenai Hal berpuasa , seluruh perikop ini telah dicatat dalam Matius dan Markus. Kisah tersebut bukanlah tentang suatu mujizat yang dilakukan Tuhan Yesus, tetapi mengenai beberapa keajaiban anugerah-Nya. Bagi orang-orang yang memahaminya dengan benar, keajaiban-keajaiban anugerah ini pun merupakan bukti jati diri Kristus sebagai utusan Allah, yang tidak kalah kuat bila dibandingkan dengan bukti-bukti lainnya.  Inilah keunikan dari injil-injil yang di tulis oleh 3 karakter yang berbeda-beda. Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa hal berpuasa tidak dimasukan dalam injil Yohanes karna Injil Yohanes tidak lagi membicarakan kejadian-kejadian yang Yesus lakukan seperti dalam ketiga injil lainnya. Dalam injil Yohanes langsung pada pasal 1 dimulai dengan Firman yang menjadi manusia dan dalam injil Yohanes sendiri penulisannya mengangkat pribadi Yesus sebagai Anak Allah. Kenapa demikian, karena isi kitab Yohanes berbicara mengenai Pribadi Allah dan karya penyelamatan.

















BAB III
KESIMPULAN
Kitab inil-injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes mempunyai gaya bahasa dan karakter penulisan yang berbeda-beda. Topic yang diangkat disini adalah berbicara mengenai Hal berpuasa dan tema ini ada dalam ketiga Injil ini kecuali Injil Yohanes. "Makan dan minum" tampaknya menjadi topik yang disoroti oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dalam dua perikop yang ada dalam Injil Matius dan Injil Markus. Pada perikop pertama, orang Farisi dan ahli Taurat mempertanyakan sikap Yesus yang makan dan minum bersama orang-orang berdosa. Pada perikop kedua, mereka mempertanyakan alasan murid-murid Yesus makan dan minum, padahal murid-murid orang Farisi dan murid-murid Yohanes berpuasa. Mereka tidak terima kedua hal tersebut sebab hakikat keagamaan mereka sangat legalistis. Lihatlah kontras antara sikap orang Farisi dengan sikap Yesus terhadap "pendosa" pada perikop pertama. Yesus bersikap demikian karena Ia datang agar mereka berkesempatan untuk bertobat. Para "pendosa\' bersukaria menikmati perjamuan, sementara orang Farisi hanya mengomel. Sukacita terbesar memang terjadi bila manusia bisa berada dalam persekutuan dengan Allah. Kehadiran-Nya membawa kesukaan pada para sahabat-Nya. Kelak ketika Ia tidak bersama mereka, barulah mereka berpuasa. Yesus menerangkan bahwa puasa, sebagai tanda pertobatan, adalah awal untuk menghayati anugerah Allah. Pemikiran orang Farisi yang menganggap diri benar karena usaha keagamaan yang ketat, tidak cocok dengan anugerah Allah yang memperbarui dari hati ke perbuatan. Injil dari Yesus bagaikan anggur baru yang tidak cocok ditaruh dalam kirbat keagamaan yang usang. Dari perikop ini intinya adalah berpuasa bukanlah sebuah hobby atau kewajiban belaka tetapi berkaitan dengan hal yang sangat diinginkan Tuhan adalah membangun hubungan yang intim dengan Tuhan dan menikmati hubungan dengan Tuhan.




[1] http://www.sarapanpagi.org/keempat-injil-vt121.html. Diakses 9 November 2014
[2] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, cetakan ke-empat, Januari, 1999) 466
[3] The New Bible Commentary - Revised, Inter Varsity Press: 
London, 1976
[4] BW8
[5] http://www.sabdaspace.org/doa_puasa_menurut_alkitab, Diakses 9 Nov 2014
[6] Matthew Henry commentary BW8 Matius 6:16-18

TANAH PERJANJIAN

TANAH PERJANJIAN


BAB I
PENDAHULUAN
Tanah Perjanjian yang di janjikan Tuhan Allah kepada Abraham dan kepada keturunan Abraham adalah tanah yang berlimpah susu dan madu. Sebelum bangsa Israel menduduki tanah tersebut, sudah lebih dahulu orang lain mendudukinya. karena berlimpah susu dan madu maka kerajaan-kerajaan yang ada di sekeliling bangsa Israel ingin menduduki tanah tersebut. Tuhan Allah telah berjanji maka Ia akan menepati janji-Nya. Hal ini sangat menarik untuk di pelajari maka akan di bahas mulai dari latar belakang tanah perjanjian dan apa yang terjadi disana.
Latar Belakang Tanah Perjanjian
Tanah Kanaan merupakan tujuan dari orang Israel setelah keluaran (peristiwa eksodus), walaupun Allah menciptakan seluruh dunia (Maz 95:4; Yesaya 40:28), namun Allah telah menentukan suatu tanah yang khusus bagi orang yang khusus yaitu bagi keturunan Abraham (Kej 12:2; Ul 26:5) yaitu tanah Kanaan.  Dalam Perjanjian Lama, ada beberapa kali diungkapkan mengenai pemberian tanah ini, seperti contohnya dalam kitab Yehezekiel.[1]
Dalam kitab Yehezekiel ada tertulis beberapa kali mengenai Tanah seperti dalam kitab Yehezekiel 11,17; 20, 15.28.42; 36,28; 37,25. Cerita mengenai pemberian tanah Kanaan oleh Allah kepada Abraham dan keturunanya dijelaskan paling banyak dalam kitab Ulangan. Dalam kitab Ulangan ada sampai 76 kali diungkapkan mengenai cerita Allah yang memberikan tanah Kanaan/tanah Perjanjian tersebut.
Konsep tanah dalam perjanjian lama memiliki banyak istilah, Misalnya dengan kata אֲדָמָה (adama) yang artinya tanah, istri. Kata tanah juga disebut dengan  kata אֶרֶץ (erets), yang artinya bumi, negeri. Kata tanah juga biasa disebut dengan kata  אֲחֻזָּה (akhuzza), yang artinya milik, tanah milik. Selain itu juga, bahwa kata  אֲדָמָה (adama) dan kata אֶרֶץ (erets) ini juga memiliki persamaan dengan kata שָדֶה (Shindahe) yang artinya adalah sebidang tanah.[2] Kata אֶרֶץ (erets) ini juga sering diartikan dengan dunia dan keseluruhan alam semesta yang membentang secara horizontal.[3] אֶרֶץ(erets)
Kata tanah dalam Alkitab sering disebut dengan kata erets yang artinya adalah bumi.[4] Namun demikian kata אֶרֶץ (erets) yang artinya adalah tanah mengarah kepada kata אֲחֻזָּה (akhuzza), yang artinya milik, tanah milik. Dalam perjanjian lama ada beberapa kali kata אֶרֶץ (erets)  ini digunakan.[5] Dalam Kej. 151 kali, Kel.116 kali, Im.60 kali, Bil. 80 kali,Ul.139 kali, Jos.61 kali, Rut.37, 1 Sam.43, 2 Sam.37, 1 Raj.50,2 Raj.57, Yes.128, Jer.204,Ez.145, Hos.15, Jole 8, Am. 20, Ob.1, Yun.1, Mik.11, Nah.2, Hab.4, Zeh.6, Hag.2, 1 Kro.30, 2 Kro.65, Neh.13, Psa.135, Dan.19, dan lain sebagainya.[6] Dengan demikian penggunaan kata   אֶךֶץ  (erets) lebih banyak terdapat dalam kitab Ulangan yaitu sebanyak 139 kali penggunaan.
Kata   אֶךֶץ (erets) ini mengandung arti jamak atau ganda karena terkadang melahirkan arti yang lebih luas dan terkadang berarti tanah atau negeri, suatu daerah yang lebih sempit, tanah yang ada di permukaan bumi ini tempat segala tumbuh-tumbuhan dan semua yang hidup (Kej. 1:11-12; Ul. 26:2). Namun dalam Kitab Kejadian 17:8 kata yang dipakai untuk menyebut kata tanah adalah dengan kata אֶךֶץ (erets) yang artinya adalah bumi/negeri.
Wilayah tanah Kanaan memiliki porsi muatan makna teologis yang sangat besar dalam seluruh kitab PL, karena tanah Kanaan merupakan komponen utama dalam perjanjian Allah dengan bangsa pilihan-Nya, Israel. Hal ini dimulai ketika Abraham dipanggil untuk pergi ke tanah yang akan Tuhan berikan kepadanya dan bangsa keturunannya, yaitu Tanah Perjanjian, (Kej. 11:31 - 12:10). Wilayah Tanah Perjanjian itu disebutkan "mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat" (Kej. 15:18) dan janji itu dikonfirmasi lagi kepada Ishak (Kej. 26:3) dan juga kepada Yakub (Kej. 28:13).
Luas tanah yang dijanjikan Tuhan kepada Abraham tidaklah jelas batasnya. Namun dapat dipastikan lebih luas dari negeri Kanaan, karena ketika Lot memilih untuk tinggal di lembah Yordan yang subur dan banyak air di sebelah timur, Abraham tinggal di tanah Kanaan, dan di situlah Tuhan berkata kepada Abraham: "Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, utara dan selatan, sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama- lamanya." (Kej. 13:14-15).
Ratusan tahun kemudian ketika Musa mengingatkan bangsa Israel akan Tanah Perjanjian yang Tuhan telah berikan kepada mereka, maka Musa menjelaskan batas-batas tanah itu sebagai, "Majulah, berangkatlah, pergilah ke pegunungan orang Amori dan kepada semua tetangga mereka di Araba-Yordan, di Pegunungan, di Daerah Bukit, di Tanah Negeb dan di tepi pantai laut, yakni negeri orang Kanaan dan ke gunung Libanon sampai Efrat, sungai besar itu. Ketahuilah, Aku telah menyerahkan negeri itu kepadamu; masukilah, dudukilah negeri yang dijanjikan Tuhan dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni Abraham, Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepada mereka dan kepada keturunannya." (Ul. 1:7-8). Dan saat itu bangsa Israel telah menduduki tanah bahkan sampai ke sungai Jordan, yang lebih luas dari batas Tanah Perjanjian.
Pada masa Yosua, Tuhan memberi perintah kepada Yosua untuk mengambil seluruh teritori seperti yang telah disebutkan oleh Musa (Yos. 1:4). Namun selama masa itu Israel gagal untuk mendapatkan seluruh tanah yang telah Tuhan janjikan, sebab utamanya adalah karena ketidaktaatan mereka kepada Tuhan, sehingga Tuhan menghukum mereka dengan tidak memberikan seluruh tanah itu kepada bangsa Israel. Dan selama masa raja-raja Israel, tidak ada satu raja pun yang berhasil mendapatkan seluruh Tanah Perjanjian itu kecuali Daud (itupun masih ada satu bagian tanah, Tanah orang Het yang tidak menjadi kekuasaan Israel).
Sebagai kesimpulan dapat di katakan bahwa konsep Tanah dan Perjanjian dalam PL saling memiliki kaitan yang erat. Tanah merupakan anugerah Tuhan yang dijamin di atas perjanjian (covenant) yang sah. Oleh karena itu Tanah Perjanjian merupakan simbol akan ketergantungan mereka pada Tuhan. Hubungan Israel dengan tanah itu merupakan indikasi hubungan mereka dengan Tuhan. Apabila mereka taat kepada Tuhan maka kemakmuran yang luar biasa akan terjadi di atas tanah itu (Ul. 22). Sebaliknya, ketidaktaatan bangsa Israel akan perintah Tuhan akan berakhir dengan dibuangnya mereka dari Tanah Perjanjian (Ul. 4:25-28; 28:63-68; Yos. 23:13-16; I Raj. 9:6- 9; 2 Raj. 17:22-23; dll.). Dan akibatnya pada masa-masa itu orang Israel harus hidup di tanah pembuangan dan dijajah bangsa-bangsa lain.
Namun karena janji bahwa Tuhan akan setia menyertai bangsa ini, maka tidak untuk selamanya bangsa Israel tinggal di tanah pembuangan. Pada jaman Ezra, sejarah PL mulai diwarnai dengan pertobatan dan perjanjian untuk menjauhkan diri dari pemcemaran dosa dari bangsa kafir (Ez. 9:10-15) sehingga bangsa Israel akhirnya pulang kembali ke tanah airnya dan tinggal di tanah yang Tuhan janjikan itu. [7]
Akan ada hal-hal yang sangat penting dan tidak kala menarik dari topic ini  yang  akan di bahas lebih terperinci dan mendalam oleh kelompok dua berkaitan dengan “Tanah Perjanjian” dan apa saja yang terkandung di dalamnya dan hubungannya dengan Abraham sampai Israel ada sekarang di landasan teory pada bab II.

















BAB II
LANDASAN TEORY
Perjanjian Allah dengan Abraham
Perjanjian Allah dengan Abram yang dipanggil-Nya keluar dari kampung halamanya di Ur-Kasdim Mesopotamia dengan janji untuk memberikan tanah Kanaan, janji untuk memberkati dia dan keturunanya serta janji untuk menjadi Allah-nya dan Allah keturunanya . Melalui Abram yang kemudian disebut Abraham ini Allah bahkan bersumpah demi diri-Nya sendiri, semua bangsa dimuka bumi akan mendapat berkat. Inti dari perjanjian ini adalah tetap sama yaitu kasih karunia pemeliharaan dan keselamatan dari Allah.
Kejadian 15:18  Pada hari itulah TUHAN mengadakan perjanjian dengan Abram serta berfirman: “Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat.  Kejadian 17:7  Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.
Sama dengan perjanjian yang dibuat Allah dengan Nuh demikian pula perjanjian Allah dengan Abraham berlaku kekal selamanya, namun perjanjian ini juga bersifat khusus yang ditandai dengan sunat. Bagi keturunan jasmani Abraham yang tidak disunat maka perjanjian menjadi batal.
Kejadian 17:10  Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat; Kejadaian 17:14  Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya: ia telah mengingkari perjanjian-Ku.[8]
Pemberian tanah Kanaan sebagai tanah perjanjian didasarkan kepada janji Allah kepada Abraham. Abraham bukanlah penduduk asli tanah Kanaan, tetapi Abraham berasal dari Mesopotamia, di sebuah kota yang bernama Ur-kasdim. Pada dasarnya, Abraham tidak mengenal siapa Allah, sebab penduduk Mesopotamia adalah orang-orang Kafir yang menyembah berhala. Abraham dipanggil Allah untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi menuju tanah perjanjian.
Abraham tidak tahu  pasti di mana tanah perjanjian itu berada, tetapi dengan iman, ia terus pergi menuju tanah yang dijanjikan Tuhan. Semasa Abraham hidup, Abraham pernah menempati tanah Kanaan. Pada masa terjadi keributan antara hamba-hamba Lot dan hamba-hamba Abraham, akhirnya Abraham dan Lot memutuskan untuk berpisah. Lot memilih daerah di sekitar sungai Yordan yang hijau dan subur, sementara Abraham memilih daerah yang sebaliknya.
Pada saat itulah, Tuhan Allah berfirman bahwa tanah itu akan menjadi miliknya dan keturunannya. Abraham adalah nenek moyang bangsa Israel. Secara khusus, Allah memanggil Abraham untuk menuju tanah perjanjian. Bangsa Israel sendiri adalah bangsa yang menduduki tanah Kanaan dan berbaur dengan penduduk asli negeri itu. Pada masa Yakub, kelaparan hebat melanda tanah Kanaan, sehingga Yakub dan keluarganya yang berjumlah 70 orang (Kejadian 46:27) pergi ke Mesir. Di Mesir, bani Israel mendiami tanah Gosyen dan jumlah mereka semakin bertambah banyak, hingga akhirnya Firaun yang tidak mengenal Yusuf, memerintah Mesir dan mulai menindas bangsa Israel.[9]
Masa Perbudakan di Mesir dan keluar menuju tanah kanaan
Peristiwa Keluar dari Mesir (atau Keluaran; bahasa Inggris: The Exodus; dari bahasa Yunani: ἔξοδος, exodos, artinya "pergi ke luar") adalah suatu kejadian penting dalam sejarah bangsa Israel, di mana mereka menjadi bebas dari perbudakan selama lebih dari 400 tahun di tanah Mesir. Bangsa Israel mula-mula menetap di Mesir pada zaman Yusuf bin Yakub menjadi perdana menteri. Yakub, ayah Yusuf, dan saudara-saudara Yusuf beserta keluarga mereka, sejumlah 75 orang, pindah dari tanah Kanaan untuk tinggal di tanah Gosyen, di delta sungai Nil, untuk menghindari bencana kelaparan yang berlangsung selama 7 tahun. Setelah Yusuf meninggal, munculnya raja-raja Mesir, yang disebut para Firaun, yang tidak ingat akan jasa Yusuf. Sebaliknya mereka takut kepada orang Israel yang terus berlipat ganda jumlahnya dengan pesat. Akibatnya mereka memutuskan untuk menekan dan menjadikan orang-orang itu menjadi budak untuk mendirikan kota-kota perbekalan. Di bawah pimpinan Musa, yang diutus oleh Allah untuk membebaskan umat Israel, bangsa itu keluar dari tanah Mesir dan mengembara untuk masuk ke "Tanah Perjanjian" yaitu Tanah Kanaan.
 Keluaran 13 dan pasal-pasal selanjutnya Kitab Keluaran mencatat bagaimana asal mulanya terjadi perbudakan terhadap bangsa Israel di tanah Mesir, sampai mereka berteriak kepada Allah untuk meminta kebebasan, dan kemudian berfokus kepada kelahiran, masa muda sampai waktu dipanggilnya Musa untuk menjadi pemimpin bangsanya. Firaun Mesir tidak mau begitu saja membiarkan orang Israel pergi, sehingga Allah menghukum Firaun dan orang Mesir dengan sepuluh Tulah Mesir. Di akhir tulah kesepuluh, yaitu kematian anak-anak sulung, orang Israel diijinkan pergi dan di bawah pimpinan Musa sekitar 2 juta umat berjalan keluar, meninggalkan tanah Mesir dan melewati padang gurun menuju ke gunung Sinai. Di gunung tersebut Allah menyatakan diri-Nya kepada bangsa Israel serta mengikat perjanjian dengan mereka: Orang Israel harus melaksanakantorah (yaitu bermakna "hukum", "instruksi") Allah dan sebagai balasannya, Ia akan menjadi Allah mereka serta memberikan kepada mereka tanah Kanaan sebagai milik pusaka.Kitab Imamat mencatat hukum-hukum Allah, sedangkan Kitab Bilangan memuat kisah perjalanan umat itu, sekarang dipimpin oleh Allah mereka, menuju ke tanah Kanaan. Namun, bangsa Israel tidak berteguh hati percaya kepada Allah. Ketika mata-mata yang mereka kirim untuk mengintai tanah Kanaan melaporkan bahwa tanah itu dikuasai oleh "raksasa-raksasa", mereka menolak untuk pergi ke sana dan memberontak terhadap pimpinan Allah. Akibatnya Allah menjadi murka dan menghukum mereka untuk tetap mengembara di padang gurun selama 40 tahun, sampai semua orang dari generasi pertama yang meninggalkan Mesir, yang berusia 20 tahun ke atas, mati di padang gurun. Setelah 40 tahun itu maka generasi baru itu sampai di perbatasan Kanaan. Kitab Ulangan memuat kisah bagaimana, sambil memandang Tanah Perjanjian, Musa mengulangi cerita perjalanan dan hukum-hukum Allah kepada generasi baru ini. Kematian Musa (yang ditulis di bagian paling akhir dari Kitab Taurat) mengakhiri perjalanan keluar dari Mesir tersebut.[10]
Musa Dan Harun tidak diisinkan masuk tanah Perjanjian.
Bilangan 20:2-13 mencatat "sekali lagi" ada kekurangan air dan sekali lagi Israel protes kepada Musa dan membandingkan kehidupan mereka di Mesir (bandingkan Bilangan 11:4-6), dengan mengatakan bahwa lebih baik mereka mati bersama saudara-saudaranya, lihat Bilangan 16:35, 49; 17:12-13).
Bilangan 20:6-9 menuliskan sekali lagi Musa dan Harus memohon dengan sangat kepada TUHAN  jangan menghukum mereka, dan sekali lagi TUHAN memerintahkan Musa untuk mengambil tongkatnya dan menyuruh musa berkata kepada bukit batu.
Dalam kitab Bilangan pasal 20 ini difokuskan pada ketidak-taatan Musa dan Harun, Peristiwa Meriba ini menjadi penyebab Musa dan Harun tidak diperbolehkan masuk ke Tanah Perjanjian. Dalam Bilangan ini dicatat lebih jelas bahwa TUHAN mengutus Musa dan Harun untuk "memerintah" bukit batu, supaya orang Israel melihat mujizat kekudusan TUHAN.
Ada dua poin ketidak-taatan Musa dan Harun :
Pertama : Pengambil alihan "tempat Allah" Allah menjanjikan air akan keluar dari gunung batu, tapi Musa dan Harun secara menghina menempatkan diri mereka di tempat Allah. Ayat kunci yang dapat menunjuk jelas Musa dan Harun "melakukan dosa di hadapan TUHAN Allah" adalah : Bilangan 20:10-11, 20:10 Ketika Musa dan Harun telah mengumpulkan jemaah itu di depan bukit batu itu, berkatalah ia kepada mereka: "Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, apakah kami (bukan Allah) harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?"  20:11 Sesudah itu Musa mengangkat tangannya, lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali, maka keluarlah banyak air, sehingga umat itu dan ternak mereka dapat minum.
Bani Israel membuat Musa naik pitam dan "mereka memahitkan hatinya, sehingga ia teledor dengan kata-katanya". Yang marah kepada bangsa itu bukan Allah, melainkan Musa. Karena itu kata gantinya "kami" (Musa dan harun) merupakan suatu bentuk penghujatan, yaitu mengambil-alihan "tempat TUHAN". Hukuman mereka ialah, mereka berdua tidak boleh masuk ke tanah yg dijanjikan, dan di kemudian hari Musa merasa hukuman ini sangat berat.

Kedua: Penyimpangan Perintah : Penggunaan tongkat sebagai pelampiasan murka Musa kepada bangsa Israel, yaitu tindakan memukul adalah suatu "penyimpangan" dari perintah yang sudah ditetapkan. Ini sama dengan tongkat Harun yang ditempatkan dihadapan Tuhan di kemah suci (Bilangan 20:9). Mereka tidak melakukan persis apa yang diperintahkan Allah, Musa mengajukan pertanyaan kepada umat yang mengungkapkan keraguan/ ketidak-percayaan mereka : "Apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?" (ayat 10). Kemudian musa memukul batu 2 kali. Sedangkan perintah TUHAN pada Bilangan 20:8 adalah "Katakanlah… kepada bukit batu itu… demikianlah engkau mengeluarkan air dari bukit batu itu bagi mereka". Bukit batu yang mengeluarkan air menunjukkan bahwa air tersebut memang sudah disana sebelumnya. Mujizatnya ialah, bagaimana cara Musa mengetahui di dalam bukit batu yang manakah terdapat air dan kenyataan bahwa ia hanya perlu memerintahkan batu itu mengeluarkan air.
Bilangan 20:11, Musa memukul batu itu dengan tongkat dua kali. Padahal Musa hanya perlu mengatakan saja kepada bukit batu itu untuk mengeluarkan airnya (sebagaimana diperintahkan Allah, yang menunjuk kepada kuasa Allah). Namun, sebagaimana kita ketahui dalam ayat ini, Musa mengambil-alih kedudukan Allah, baik melalui kata maupun tindakan. Walaupun memang Batu itu tetap mengeluarkan air yang cukup diminum oleh semua bani Israel bahkan ternak mereka pun minum (ayat 11) tetapi jelas Musa tidak melakukan perintah "persis" seperti yang ditetapkan Allah.[11]



Estafet Kepemimpinan ke Tanah Perjanjian
Pertama, Musa tidak diizinkan ke tanah kanaan karena pelanggaran. Bilangan 20:2-13 menjelaskan bahwa ketika orang Israel memberontak, Musa menjadi teledor dengan kata-katanya  dan melanggar perintah Tuhan yang membuatnya menanggung konsekwensi dari keteledorannya. Ayat 12 berkata: “Tetapi Tuhan berfirman kepada Musa dan Harun;: “karena kamu tidak percaya kepadaKU dan tidak menghormati kekudusanku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan kuberikan  kepada mereka. Konsekwensi yang harus ditanggung Musa karena kesalahannya adalah tidak diizinkan sampai ke tanaah kanaan.  Dia harus berhenti sebagai pemimpin atas Israel, dan akhirnya dia harus mati. Namun Musa mati bukan berarti rencana Tuhan membawa umatnya ke tanah Kanaan menjadi gagal. Allah tentu memilih pemimpin baru untuk meneruskan penggenapan tanah perjanjian kepada umatNya, dan pemimpin baru itu adalah Yosua.
Kedua, Yosua ditetapkan sebagai penerus kepemimpinan. Ulangan 31:130, menunjukan setelah Musa tahu bahwa dia tidak akan masuk tanah perjanjian atau tidak akan menyeberangi sungai Yordan maka beberapa hal yang dilakukan Musa adalah: Dia menyampaikan bahwa sesuai Firman Tuhan dia tidak akan menyebrangi sungai Yordan, ayat 2. Musa tidak mempersalahkan orang Israel atas atas putusan Tuhan kepadanya bahwa dia tidak akanmasuk tanah perjanjian. Dia juga tidak menyembunyikan konsekwensi dosa yang ditanggungnya, Dia menguatkan orang Israel tentang janji Tuhan, bahwa Tuhan pasti menyertai mereka sampai di tanah Perjanjian, 3-6, Dia memanggil Yosua dan memberitahukan tugas untuk menerima estafet kepemimpinan menuju tanah kanaan di depan umat Israel, 7-8 Musa menunjukkan bahwa estafet kepemimpinan kepada Yosua adalah Firman Tuhan. Yosua adalah pilihan Tuhan bukan Musa.
                Yosua menerima Firman Tuhan sehubungan dengan tugasnya, Yosua 1:1-18.
·         Tuhan menyuruh Yosua untuk siap menyeberangi sungai Yordan, ayat 2
·         Tuhan mengulangi bahwa tanaah itu akan mereka miliki dengan memberitahukan  batas-batasnya  ayat 3-4
·         Tuhan berjanji akan menyertai Yosua sebagaimana Dia menyertai Musa, ayat 5
·         Tuhan memperingatkan Yosua untuk berpaut pada Firman Tuhan, untuk berhasil dan beruntung dalam perjalanan menuju ke tanah Perjanjian, ayat 6-9
·         Yosua mulai mengatur suku-suku Israel utuk memasuki tanah perjanjian.
Yosua Membawa Bangsa Israel Masuk Tanah Perjanjian
Yosua memunyai tujuan yang jelas, yaitu tujuan yang berorientasi pada petunjuk Tuhan (Yosua 1:2b) untuk membawa orang Israel ke Kanaan. Namun tujuannya bukan hanya sampai kepada wilayah teritorial melainkan juga bagaimana agar Israel tetap menjadi umat Tuhan yang setia. Cara yang dilakukan oleh Yosua untuk mencapai tujuan itu adalah sebagai berikut.
Pertama, Mempertahankan sistem organisasi yang diwariskan oleh Musa.
Kedua,  Memasuki, menaklukkan, dan menduduki Kanaan.  Secara teritorial, hal tersebut dilakukannya dengan teliti dan hati-hati serta mempelajari strategi perang dan tidak sembarangan dalam bertindak (2:1). Hal itu terbukti ketika ia mengirim pengintai (2:1-24), melawan Ai (8:3-9), juga pada waktu melawan lima raja. Yosua memakai strategi menyerang lebih dulu secara tiba-tiba sebelum diserang (10:9) juga pada waktu melawan raja-raja bagian utara (11:7). Dalam setiap peperangan, Yosua sendirilah yang memimpin (8:1-29) dan Yosua tetap
11:15,20).
Ketiga, Mengingatkan orang Israel untuk hidup dalam kekudusan (3:5). Untuk menjaga kesetiaan orang Israel terhadap Tuhan, Yosua juga menguduskan orang Israel dengan menyunat mereka (5:2), membuat mezbah di gunung Ebal (8:30), dan membacakan perkataan hukum Taurat (8:34-35). Dia memberikan pesan rohani kepada suku Ruben, Gad, dan sebagian suku Manasye sebelum mereka kembali ke tanah pusaka di seberang sungai Yordan di tanah Gilead agar mereka setia kepada Tuhan (22:5-6). Sampai masa tuanya pun Yosua selalu mengingatkan orang Israel untuk melakukan perintah Tuhan (23:6), bahkan dia memperbarui perjanjian di Sikhem (24:25-28).
Yosua memimpin orang Israel selama sekitar 20 tahun dan Yosua meninggal dalam usia 110 tahun (24:29). Pada permulaan kitab Yosua, Yosua hanya disebut sebagai "abdi Musa" (1:1) tetapi pada bagian akhir dari kitab Yosua, Yosua disebut sebagai "hamba Tuhan" (24:29)artinya bahwa pada akhirnya Yosua disejajarkan dengan Musa (1:1). Penyejajaran Yosua dengan Musa tidak terjadi secara instan tetapi melewati suatu proses yang panjang, khususnya dalam hubungan rohaninya dengan Tuhan. Mungkin di awal dari kepemimpinan Yosua tidak semua orang Israel yakin bahwa Yosua pantas menggantikan Musa, tetapi dengan kenyataan seperti dituliskan dalam kitab Yosua ini mereka pada akhirnya akan berkata bahwa Yosua pantas menggantikan Musa sebagai pemimpin Israel yang membawa Israel memasuki Kanaan, menaklukkan Kanaan, dan menduduki Kanaan; bahkan jasanya yang lebih besar adalah membuat Israel menjadi umat Tuhan yang taat kepada Tuhannya, paling tidak selama dan beberapa waktu setelah kepemimpinan Yosua.
Berkat rohani dari kehidupan Yosua memang sangat luar biasa dan sangat melimpah; prinsip-prinsipnya sangat jelas, khususnya dalam bidang kepemimpinan. Sangat baik jika dalam bidang kepemimpinan seorang Kristen atau Gereja merasa mendapat berkat dari kepemimpinan Yosua. Tetapi seperti Yosua, hendaknya kita menerapkan prinsip-prinsip itu dengan segala dinamika di dalamnya, bahwa kepemimpinan juga itu pasti tidak bebas kita menjadi pemimpin-pemimpin yang seperti Yosua, yang tetap dalam komitmen untuk selalu berhubungan dengan Tuhan.[12]
Tanah Perjanjian Di Jaman Raja Daud
Daud adalah anak bungsu dari delapan bersaudara.   Sebelum menjadi raja ia hanyalah seorang gembala yang menghabiskan hari-harinya dengan menggembalakan domba-domba Isai, ayahnya, di padang di Betlehem.  Namun, Daud bukanlah seorang gembala biasa.  Sebagai seorang pria ia berwajah tampan dan mempesona dengan sorot matanya yang elok.  Di padang rumput yang luas dan indah, ia memperoleh inspirasi untuk menulis puisi-puisi yang romantis dan memainkan kecapinya yang lembut nan syahdu.  Atas kehendak TUHAN, hakim Samuel mengurapi Daud menjadi raja menggantikan Saul bin Kisy dari suku Benyamin.(1 Samuel 16:13)  Sebagai raja Israel yang pertama, Saul telah ditolak karena tidak mampu mengedepankan perintah TUHAN dan bertindak menurut kehendaknya sendiri.
Ketika Saul digambarkan sebagai prajurit bertemperamen tinggi, Daud justru tampil layaknya seorang prajurit yang rendah hati juga diplomat yang tenang dan mampu membangun kekuatan politisnya dengan taktik-taktik yang cemerlang.  Daud yang berasal dari suku Yehuda ini meraih simpati dari semua suku Israel untuk kemudian mengakui keabsahannya sebagai raja atas Israel Raya.  Bahkan ia mampu berdiplomatis dengan meraih kepercayaan negara tetangga serta musuh-musuh Israel lainnya
Pada masa Yosua, Tuhan memberi perintah kepada Yosua untuk mengambil seluruh teritorial seperti yang telah disebutkan oleh Musa (Yosua 1:4). Namun selama masa itu Israel gagal untuk mendapatkan seluruh tanah yang telah Tuhan janjikan, sebab utamanya adalah karena ketidaktaatan mereka kepada Tuhan, sehingga Tuhan menghukum mereka dengan tidak memberikan seluruh tanah itu kepada bangsa Israel. Dan selama masa raja-raja Israel, tidak ada satu raja pun yang berhasil mendapatkan seluruh Tanah Perjanjian itu kecuali Daud (itu pun masih ada satu bagian tanah, Tanah orang Het yang tidak menjadi kekuasaan Israel).
Kemenangan-Kemengan Daud Merebut Tanah Perjanjian
Tanah perjanjian dalam masa pemerintahan raja Daud mengalamai puncak kejayaannya mengalahkan musuh musuh bangsa Israel sebagaimana yang tercatat dalam nats Alkitab yang tercantum dalam 2 Samuel 8:1-14, 1 Tawarikh 18:1-10. Daerah daerah yang dikalah oleh Daud adalah sebagai berikut: Daerah Filistin dengan  mengambil kendali atas seluruh pemerintaannya ibu kotanya (ay.1) kemudian mengalahkan orang Moab, dimana orang Moab diwajibkan harus membayar upeti kepada kepada Daud. Selanjutnya Daud memukul kalah Hadadazer bin Rehob, Raja Zoba, Daud juga menawan pasukan berkuda dan puluhan ribu pasukan berjalan kaki pada pertempuran ini (ay. 3,4).
Lalu Daud juga mengalahkan persekongkolan raja Hadadazer dengan orang Aram dari Damsyik dan menewaskan dua puluh dua ribu orang. Kemudian Daud menempatkan pasukan pasukan pendudukan di daerah orang Aram dari Damsyik. Orang Aram itu takluk kepada Daud dan harus mempersembahkan upeti juga. Tuhan memberi kemengan kepada Daud kemanapun ia pergi berperang. Dan oleh sebab keberhasilan Raja Daud mengalahkan musuh musuhnya, ketika Tou Raja Hamat mendengar kabar itu, maka dia menyuruh Yoram anaknya untuk menyampaikan salam dan persembahan kepada raja. Dan yang terakhir dalam bagian ini raja Daud juga menang atas orang Edom di lembah Asin, lalu ia menempatkan pasukan pasukan pendudukan, sehingga seluruh Edom takluk pada masa Daud menjadi raja.






BAB III
KESIMPULAN
Allah memberikan tanah Kanaan kepada bangsa Israel menjadi tempat kediaman dan menjadi milik pusaka bangsa Israel sesuai dengan janji Allah kepada bapa leluhur mereka Abraham. Pemberian tanah kepada bangsa Israel adalah suatu tuntutan kepada mereka untuk tetap selalu menguduskan dirinya di tanah milik Allah. Pemberian tanah Kanaan adalah merupakan penggenapan dari janji Allah, tetapi juga bahwa pemberian tanah tersebut adalah juga merupakan suatu janji. Dengan demikian janji tersebut tidak hanya berhenti sampai di sana saja, tetapi janji tersebut adalah janji yang secara terus-menerus berkelanjutan.
Pemberian tanah Kanaan sudah merupakan tujuan dan rencana Allah dalam berbagai tindakanya, artinya bahwa tindakan Allah kepada bangsa Israel merupakan proses atau pendahuluan bagi mereka dalam penerimaan janji tanah yang akan diberikan Allah. Tindakan-tindakan Allah yang merupakan awal dari pemberian tanah Kanaan tersebut, misalnya: pembebasan bangsa Israel dari tanah perbudakan Mesir, pembimbingan di padang gurun, penyataan Allah kepada mereka di gunung Sinai. Oleh karena itu, tanah Kanaan seringkali disebut sebagai nahala yang artinya daerah/negeri milik pusaka bagi bangsa Israel. Tetapi tanah Kanaan juga sering disebut dengan ahuzzah yang artinya adalah milik (Kejadian 17:8; 48:4; Imamat 14:34; 25:24; Bil. 35:8; Ul. 32:49; Yos 21:42).
Pemberian tanah tersebut oleh Allah menyatakan bahwa bangsa Israel mempunyai hak atas tanah itu, sebab Allah sunguh-sungguh memberikan tanah itu kepada mereka, itulah sebabnya bangsa Israel selalu merasa di rumah sendiri dan sudah mempunyai hak tinggal ketika mereka sedang berada di tanah perjanjian itu. Itulah berkat yang diterima oleh mereka dari Allah, dan berkat itu sudah diterima oleh Abraham, Isak dan Yakub, artinya bahwa berkat itu adalah janji tetapi setetal Allah menjanjikannya maka penggenapanya juga sudah berlangsung pada saat itu juga.  Konsep dari penggenapan dari semua perjanjian yang dinyakan Allah kepada bangsa Israel adalah berakar dan berpusat pada perjanjian Allah dengan Abraham.





















KEPUSTAKAAN
Buku
Barth, Carl., Teologi Perjanjian Lama 2, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2008), 10.
Alfred, Day Ely, “אֶרֶץ” dalam James Orr, International Standard Bible Enciclopedia, (Michigan : Grand Rapids,1980), 1826.
Bergman, “אֶרֶץ”  dalam, G. Johanes Botterweck, Theological Dictionary Of the Old Testament Vol I, Michigan: Grand Rapids, 1972
Johannes, Botterweck G. (ed), Theological Dictionary Of the Old Testament Vol II, Michigan : Grand Rapids, 1977
Lisowky, Gerhard Drivileg Wrutt, Korkordanz Zum Hebraischen Alten,: (Germany: Bibelanstult Stuttgart, 1958),  143-144.
Walker, D.F., Korkordansi Alkitab,( Jakarta : BPK-Gunung Mulia, 2008) , 231.


Internet

http://www.pesta.org/tbiblika, Diakses 27 Oktober 2014
http://rogermixtica.wordpress.com/2012/12/09/perjanjian-allah/, Diakses 31 Oktober 2014
Sumber : http://www.pesta.org/book/export/html/189, Diakses 30 Oktober 2014
http://id.wikipedia.org/wiki/Keluar_dari_Mesir#cite_ref-2, diakses 30 Oktober 2014
www.sabda.org//artikel.php. Diakses 30 Oktober 2014
http://www.sabda.org/publikasi/e-leadership/077, Diakses 30 Oktober 2014
















[1] Carl. Barth, Teologi Perjanjian Lama 2, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2008), 10.
[2] Day Alfred Ely, “אֶרֶץ” dalam James Orr, International Standard Bible Enciclopedia, (Michigan : Grand Rapids,1980), 1826.
[3] Bergman, “אֶרֶץ”  dalam, G. Johanes Botterweck, Theological Dictionary Of the Old Testament Vol I, (Michigan: Grand Rapids, 1972), 388.
[4] Botterweck G. Johannes (ed), Theological Dictionary Of the Old Testament Vol II, (Michigan : Grand Rapids, 1977), 393.
[5] Gerhard Lisowky Drivileg Wrutt, Korkordanz Zum Hebraischen Alten,: (Germany: Bibelanstult Stuttgart, 1958),  143-144.
[6] D.F. Walker, Korkordansi Alkitab,( Jakarta : BPK-Gunung Mulia, 2008) , 231.

[7] http://www.pesta.org/tbiblika, Diakses 27 Oktober 2014
[8] http://rogermixtica.wordpress.com/2012/12/09/perjanjian-allah/, Diakses 31 Oktober 2014
[9] Sumber : http://www.pesta.org/book/export/html/189, Diakses 30 Oktober 2014

[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Keluar_dari_Mesir#cite_ref-2, diakses 30 November 2014
[11] www.sabda.org//artikel.php

[12] http://www.sabda.org/publikasi/e-leadership/077